Mereka beralih profesi karena berharap, dengan menjadi petani palawijaya, pendapatan lebih baik dibandingkan dengan menanam ganja.
Hal itu sampaikan beberapa mantan petani ganja yang dijumpai Kompas di kawasan Lamteuba, Aceh Besar, pada Jumat (2/3). Mereka berharap, pemerintah terus mendampingi hingga mereka benar-benar mandiri.
Ketua Kelompok Tani Oisca, kelompok tani yang sebagian besar anggotanya mantan petani ganja, Fauzan (29), mengatakan, pada tahun 2016, pemerintah membantu cetak sawah baru dengan luas 98 hektar.
Cetak sawah tersebut merupakan program bersama antara Kementerian Pertanian, Badan Narkotika Nasional, TNI, dan pemerintah daerah untuk memberdayakan mantan petani ganja.
Lahan itu dikelola anggota kelompok tani. Setiap orang mendapatkan hak kelola 1 hektar. Pemerintah juga membantu bibit padi dan pupuk. Namun, jaringan irigasi tidak dibangun, akibatnya air tidak mencukupi dan padi mulai menguning sehingga terancam gagal panen.
”Kami sangat berharap pemerintah membangun jaringan irigasi agar kami bersawah dengan baik,” ucap Fauzan.
Lokasi sawah terletak di tengah hutan, jarak dari jalan desa sekitar 6 kilometer dengan jalan tanah berbatu yang curam. Para petani yang tidak memiliki sepeda motor terpaksa jalan kaki selama dua jam untuk menuju sawahnya.
Jika debit air sungai sedang naik, mereka tidak bisa menyeberangi sungai karena tidak ada jembatan. ”Saat panen, kami juga kesulitan karena tidak ada mesin perontok padi,” lanjut Fauzan.
Ia mengatakan, anggota kelompoknya mencapai 200 orang yang sebagain besar mantan petani ganja. Sejak 2016, mereka mulai menanam padi dan kedelai. ”Jadi petani ganja tidak bikin kaya, yang kaya itu mafia, sedangkan kami hanya petani,” ucap Fauzan.
Ia menyebutkan lebih enak jadi petani palawijaya, hidup tenang dan uangnya halal. Namun, pihaknya butuh pendampingan berkelanjutan supaya sukses dalam bertani.
”Kami juga ingin mengubah pandangan orang terhadap Lamteuba. Kalau dulu disebut penghasil ganja, ke depan harus dikenal sebagai penghasil palawija,” ujar Fauzan.
Sejak lama Lamteuba dikenal sebagai kawasan penghasil ganja. Setiap tahun selalu ada penemuan ladang ganja di kawasan itu. Namun, kata Fauzan, sekarang ladang ganja di Lamteuba jauh berkurang.
”Mungkin masih ada satu-dua orang yang nekat tanam, tetapi jumlahnya turun drastis,” katanya.
Secara ekonomi, lanjut Fauzan, pendapatan menjadi petani palawija lebih baik dibandingkan menjadi petani ganja. Dia pernah mendapatkan Rp 50 juta dari hasil panen cabai. Saat itu, harga cabai sedang naik, mencapai Rp 30.000 per kilogram. ”Hasil panen ganja tidak pernah saya dapat sebesar itu, yang ambil untung malah mafia,” ujar Fauzan.
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Aceh Besar Ahmad Tarmizi mengatakan, untuk mengatasi kekeringan di sawah milik Kelompok Tani Oisca, pihaknya membantu mesin pompa air untuk mengaliri sawah-sawah yang kering.
Namun, untuk jangka panjang, pihaknya meminta kelompok tani mengusulkan permohonan pembangunan jaringan irigasi. ”Anggaran pemkab sangat terbatas, pembangunan tentu harus bertahap,” kata Tarmizi.
Juru Bicara Pemprov Aceh Wiratmadinata menuturkan, pemerintah telah memfasilitasi petani untuk mengolah lahan pertanian. Selain di Lamteuba, program alih fungsi lahan ganja menjadi pertanian juga dilakukan di Gayo Lues.
”Persoalan yang dihadapi petani di Lamteuba akan kami bahas untuk mencari solusi agar mereka jadi petani sukses,” ucap Wiratmadinata.