Rumah Petani Jadi ”Homestay”
Sekelompok anak sekolah dasar antusias belajar bahasa Inggris bersama tiga relawan. Mereka belajar di sebuah rumah panggung yang biasa dijadikan tempat sawala (pertemuan) warga atau menerima tamu.
Salah seorang relawan, Osep Agusmiaan (41), menuturkan, mereka datang ke Kampung Tajur untuk menikmati keindahan dan kesejukan alam pegunungan. ”Kami ingin menikmati suasana alam perdesaan sambil berbagi pengetahuan untuk anak-anak di sini,” ujar Osep, Minggu (4/2).
Bersama dua temannya, Hery Risdianto dan Dewantara Chamtiko, karyawan perusahaan swasta itu datang dari Cikampek, Karawang, sekitar 50 kilometer dari Kampung Tajur.
Menurut Ayep (37), Ketua Rukun Tetangga Kampung Tajur, di kampungnya kini ada ”prosedur tetap”, yakni kedatangan tamu rombongan akan disambut dengan musik tradisional tutunggulan, membunyikan penumbuk padi. Tentu saja jika rombongan itu mengomunikasikan waktu kedatangannya.
Selama tinggal di Kampung Tajur, pengunjung diharapkan mengikuti aturan warga kampung. Penyebabnya, kampung yang terletak 900 meter di atas permukaan laut ini berbatasan dengan hutan Burangrang yang masih dihuni binatang buas,
seperti macan kumbang.
Kampung wisata
Di Kampung Tajur ada tiga rukun tetangga. Hampir seluruh penduduk merupakan buruh tani. Sebelum dijadikan kampung wisata, kata Ayep, kehidupan warga Tajur sangat minim. Jika bukan musim tanam dan panen, mereka bekerja serabutan. Sebagian besar sawah dan kebun di kampung itu milik orang luar. ”Penghasilan rata-rata buruh tani itu sekitar Rp 300.000 per bulan,” tutur Ayep.
Rata-rata pendidikan warga hanya sampai sekolah dasar. Untuk melanjutkan pendidikan, mereka terkendala biaya. Ayep pun hanya lulus SD, kemudian melanjutkan pendidikan lewat Kejar Paket B.
Rendahnya pendidikan dan terbatasnya kepemilikan lahan membuat warga Tajur hidup dalam kemiskinan. Padahal, mereka memiliki alam yang indah dan subur. Lahan pertanian mereka diburu orang kota untuk dijadikan tempat wisata dan vila peristirahatan. Warga menjadi buruh di tanah kelahirannya.
Melihat kondisi yang memprihatinkan, tahun 2002, Pemerintah Kabupaten Purwakarta lewat wakil bupati saat itu, Dedi Mulyadi, mencoba memperbaiki dengan menjadikan Tajur sebagai kampung wisata. Sejumlah rumah warga diubah menjadi homestay.
Warga menyediakan rumah dan tanah yang mereka tempati. Anggaran renovasi Rp 25 juta per rumah disediakan pemkab melalui dinas pariwisata. Jika warga sudah memiliki tiga kamar, maka salah satu kamar didesain untuk kebutuhan tamu, dilengkapi kamar mandi di dalam dan toilet duduk. Jika rumah warga hanya memiliki satu kamar, maka dibuatkan satu kamar lagi untuk wisatawan.
Bentuk rumah semuanya disamakan, yakni bangunan tradisional Sunda, julang ngapak. ”Waktu itu dibangun 43 rumah tradisional Sunda dengan warna hitam putih dan hingga sekarang tidak berubah,” ujar Ayep.
Pemkab juga melatih warga kampung dengan mengirim sejumlah penduduk untuk belajar ke hotel-hotel di kawasan wisata Lembang, Kabupaten Bandung.
Ada 10 warga yang dilatih sebagai tenaga housekeeping. Sekembali dari pelatihan, ke-10 warga itu kemudian melatih warga lain di kampungnya. Pola pikir warga juga diarahkan untuk membangun sapta pesona bagi wisatawan, yakni membangun keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahan, dan kenangan dari kampungnya.
Penghasilan tambahan
Sejak 2003, Kampung Tajur mulai disosialisasikan untuk melengkapi kawasan wisata milik perorangan di daerah perbukitan itu. Kampung Tajur ditawarkan melalui konsep wisata berbasis ekoturisme dan kearifan lokal. Alam lingkungan dan budaya menjadi obyek utama dari wisata tersebut.
”Pengunjung ke Kampung Tajur kebanyakan rombongan, terutama murid SMA dan mahasiswa, untuk melakukan wisata edukasi dan belajar pertanian,” tutur Derry Heriana (45), aparat Desa Pasanggrahan.
”Setelah menjadi kampung wisata, selain ada penghasilan tambahan, warga juga bisa berkomunikasi langsung dengan orang luar,” kata Ayep.
Wisatawan yang menginap di homestay dikenai tarif seragam, Rp 250.000-Rp 300.000 per malam. Warga juga menyediakan makanan, bergantung pada kesepakatan. Kalau pengunjung membawa bahan makanan sendiri, warga hanya membantu memasakkan.
Sejak dipoles menjadi kampung wisata, pengunjung pun meningkat. Rata-rata sekitar 10.000 wisatawan datang ke Kampung Tajur setiap tahun.
Saat mengunjungi Kampung Tajur, wisatawan berinteraksi dengan warga dan melakukan observasi kehidupan sehari-hari petani. Mereka ikut bersama penduduk melakukan kegiatan bercocok tanam di kebun atau sawah. Para tamu diajak mencangkul, menanam, memanen sayuran, atau menangkap ikan di kolam.
Sore hari, para tamu, terutama wisatawan edukasi, biasanya berkumpul untuk membahas kegiatan yang dilakukan pada siang hari bersama warga.
Sementara itu, tamu yang ingin wisata religi bisa berziarah ke petilasan Eyang Pandita, seorang ulama dari Mataram yang datang ke kampung itu tahun 1624.
Sayangnya, jalan menuju Tajur masih sempit, lebarnya sekitar 3 meter, dalam kondisi naik turun terjal. Sebagian aspalnya sudah terkelupas dan sebagian masih jalan tanah, terutama sepanjang 1,3 kilometer dari Balai Desa Pasanggrahan.
Apabila ingin berkontemplasi atau berlibur bersama teman dan keluarga sambil menikmati alam perdesaan, datanglah ke Kampung Tajur. Anda bisa mengikuti kegiatan petani dan olahraga, lari ataupun lintas alam menjelajahi tepi hutan.