HUTAN bakau yang terbentang di sepanjang 50 km garis pantai Oesapa di Kota Kupang sampai Teluk Kupang, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, sangat dibutuhkan oleh nelayan dan warga pesisir setempat.
Kawasan pesisir ditumbuhi bakau itu melindungi permukiman penduduk dari ancaman abrasi, menjadi tempat tambatan perahu, dan tempat berkembang biak biota laut.
Tetapi di sisi lain, hutan bakau diabaikan oleh warga sendiri. Mereka menebang bakau, dan merusak anakan bakau yang tumbuh secara alamiah di beberapa titik di sepanjang garis pantai.
Kayu bakau itu dimanfaatkan untuk pelengkap sarana dan prasarana perahu nelayan, kayu bakar, tiang penyangga rumah darurat, dan membuat arang bakar.
Meski demikian, sebagian warga Kupang terutama mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, relawan, dan kelompok peduli lingkungan terus melakukan penanaman di beberapa titik pantai, yang dinilai sudah sangat mengancam pemukiman penduduk. Meski sering gagal tumbuh dan berkembang biak, penanaman terus dilakukan.
“Kalau tanam 1.000 anakan bakau, yang berhasil tumbuh 200 -300 pohon, itu sudah cukup bagi kami. Kami terus menanam dan terus berkampanye kepada warga yang berdiam di sekitar pantai agar menjaga, merawat, dan menanam kembali bakau yang sudah tumbuh, sedang dalam proses persemaian, dan dalam proses penanaman,” kata Yahya, dosen Jurusan Kelautan dan Perikanan Universitas Nusa Cendana Kupang, di Kupang, Minggu (4/3).
Ia menilai, sebagian warga yang berdiam di sepanjang garis pantai di Oesapa sampai Teluk Kupang, sepanjang sekitar 50 km, paham tentang manfaat bakau.
Mereka sebagian besar bermata pencarian nelayan, yang selalu menggunakan pohon bakau untuk tambatan perahu, atau tempat berlindung perahu motor saat datang musik cuaca buruk. Di ranting dan celah batang pohon bakau itu pula nelayan selalu menggantungkan pukat tangan mereka.
Meski bermanfaat bagi nelayan, mereka pula yang cenderung merusak (menebang) batang pohon bakau yang tumbuh secara alamiah, atau hasil budidaya orang lain, puluhan tahun lalu.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa nelayan belum sadar tentang manfaat bakau, atau sadar dan paham tetapi bersikap masa bodoh.
Warga pesisir cenderung menilai bakau sesuai kepentingan sesaat, bukan kepentingan masa depan dan lingkungan yang lebih luas.
Ketika ada orang lain memberi perhatian dengan merawat dan menanam bakau, mereka selalu melihat dalam kacamata “proyek” pemerintah, kemudian mengabaikan bahkan cenderung merusak.
Direktris Yayasan Lingkar Insani NTT Imelda Maria Toge mengatakan, pemda perlu mengadakan lomba penghijauan dan perawatan bakau di setiap RT/RW yang berada di dekat pantai.
Bagi mereka yang keluar sebagai juara, diberi penghargaan seperti mendapatkan beras sejahtera gratis, mendapatkan anakan bakau, mendapatkan perahu motor bagi peserta yang sebagian besar nelayan, atau hadiah lain.
“Selain hadiah untuk kelompok, juga hadiah perorangan bagi mereka yang benar-benar memberi perhatian dan kepedulian khusus bagi tanaman bakau. Hadiah ini sebagai motivasi bagi warga pantai untuk memberi perhatian khusus bagi pohon bakau di sepanjang pantai,” kata Toge.