PALANGKARAYA, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah mulai mengidentifikasi 12 peta wilayah adat dengan total luas wilayah sebesar 119.777,76 hektar. Proses identifikasi tersebut akan mempercepat pengakuan hutan adat.
Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah (Kalteng) Ikhtisan mengatakan, identifikasi dilakukan untuk memastikan hutan adat itu berada di kawasan hutan atau tidak. Kalau masuk ke kawasan hutan, perlu dibuat peraturan daerah sebagai dasar hukum, tetapi kalau bukan kawasan hutan hanya memerlukan surat keputusan bupati.
”Baru bisa dilakukan (identifikasi) sekarang karena memang anggarannya baru ada, sebelumnya tidak pernah ada. Tim-tim identifikasi sudah dibentuk dan sekarang mulai turun ke lokasi,” ungkap Ikhtisan, di Palangkaraya, Senin (5/3).
Dari data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng, 12 wilayah adat itu berada di Kabupaten Barito Utara dengan luas wilayah 35.565,18 hektar (ha), Gunung Mas 44.807,39 ha, Kotawaringin Barat seluas 293.18 ha, Lamandau 22.305,20 ha, Pulang Pisau dengan luas 5.459,12 ha, dan Barito Selatan dengan luas wilayah adat 11.347,68 ha.
Ikhtisan menambahkan, selama ini penetapan hutan adat memang belum ada. Hal itu terjadi karena minimnya sosialisasi dan komitmen pemkab.
Berdasarkan Data Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, dari target 1,5 juta hektar pada 2019 baru 77.560 ha perhutanan sosial yang sudah terealisasi. Rinciannya, hutan desa seluas 45.020 ha, hutan tanaman rakyat seluas 24.799 ha, dan hutan kemasyarakatan seluas 7.741 ha. Sementara untuk hutan adat dan kemitraan kehutanan belum ada yang terealisasi. ”Kalau masyarakat bisa mengelola hutannya sendiri, dengan sendirinya kegiatan ilegal juga berkurang,” kata Ikhtisan.
Ketua AMAN Kalteng Simpun Sampurna mengatakan, pihaknya menyambut baik upaya yang dilakukan pemprov. Saat ini pihaknya sedang melakukan pemetaan di delapan wilayah adat lainnya. ”Kalau hutan adat sudah ada dan diakui, masyarakat adat akan mampu mengelola hutan tanpa harus khawatir alih fungsi lahan,” ungkap Simpun.
Pada Agustus 2017, Kompas pernah mengunjungi masyarakat adat Suku Dayak Tomun di Desa Kubung, Kecamatan Delang, salah satu komunitas adat di Kabupaten Lamandau. Terdapat 2.000 ha wilayah adat yang sudah dipetakan di desa itu.
Di sana, masih berdiri tegak ratusan pohon dengan diameter sekitar dua sampai tiga meter di dalam hutan desa itu. Masyarakat memanfaatkannya untuk mencari madu hutan dan obat-obatan tradisional. Solo Duka (62), warga Kubung, mengungkapkan, madu hutan jadi sumber pendapatannya selama 15 tahun ini. Sekali panen bisa mendapatkan 10-15 botol madu berukuran 600 mililiter yang dijual Rp 100.000 per botol. ”Kalau sudah musim madu hasilnya bisa lebih dari 15 botol. Kalau memang lagi untung bisa buat sekolah anak atau bayar kredit motor,” ujar Solo.
Kepala Desa Kubung Edy Zacheus berharap pemda bisa bikin perda karena sebagian besar masuk kawasan hutan. ”Kami mengklaim wilayah adat ini berdasarkan tradisi dan sejarah turun-temurun,” kata Edy. (IDO)