DEMAK, KOMPAS – Kendati dihadapkan pada kenaikan modal tanam, para petani di Kabupaten Demak dan Grobogan, Jawa Tengah, awal pekan ini langsung memulai masa tanam kedua, setelah panen raya pertengahan Februari. Mereka memanfaatkan curah hujan yang masih tinggi.
Kasduri (67), petani di Desa Sarirejo, Kecamatan Guntur, Demak, Selasa (6/3), mengatakan, biaya tanam manual atau tanpa mesin, kini mencapai Rp 2,8 juta untuk lahan satu bau (sekitar 7.000 meter persegi). Biaya ini naik dibanding musim tanam I pada Oktober lalu sebesar Rp 2,6 juta per bau.
“Kenaikan biaya tanam itu mendorong petani beralih tanam menggunakan mesin. Biaya tanam dengan alat mesin lebih murah, hanya Rp 1,8 juta per hektar. Hanya saja, terbatasnya alat mesin tanam memaksa petani harus menunggu, giliran antre sewa alat,” ujar Kasduri.
Dia menuturkan, para petani sudah menyiapkan modal tanam. Modal tanam untuk lahan seluas 1 bau, misalnya, dia menyiapkan antara Rp 5 juta dan Rp 6,5 juta. Dari jumlah itu, hampir 50 persen biaya untuk ongkos tanam, perawatan, dan biaya panen.
Petugas penyuluh pertanian di Kecamatan Gajah, Demak, Agus Trihartono mengemukakan, faktor cuaca dengan curah hujan masih tinggi mendorong petani tidak sabar mengolah lahannya. Petani semakin antusias karena semua kebutuhan pokok tani seperti benih, pupuk bersubsidi, hingga alat mekanik tanam padi sudah tersedia.
Di Kecamatan Gajah misalnya, terdapat sekitar 17 alat mesin tanam dan panen. Biaya sewa untuk kedua alat mesin pertanian itu, berkisar Rp 300.000-Rp 700.000 per hari. Kalau lahan sawah 1 bau, untuk sewa alat mesin tanam hingga tuntas dibutuhkan sewa Rp 1,8 juta.
“Ongkos sewa alat mesin lebih murah dibandingkan harus mendatangkan buruh tani untuk tanam padi secara tradisional. Tanam padi secara manual, setidaknya butuh lebih dari 20 orang untuk setiap satu hektar hamparan. Ongkos upah tanam kini sudah mencapai Rp 100.000 orang per hari,” ujar Agus.
Harga gabah
Petani menanam padi di saat harga gabah di tingkat petani mulai turun. Harga gabah kering kini Rp 4.300 per kilogram (kg). Sebaliknya, harga beras medium masih lumayan tinggi. Harga beras di desa saat ini masih Rp 9.500 per kg-Rp 10.000 per kg. Harga beras ini lebih tinggi dibandingkan awal musim tanam II-2017 lalu Rp 8.500 per kg.
Petani lain di Desa Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Hardiono menyebutkan, petani berharap hasil panen tanam padi musim II ini setara dengan panen musim I. Pada musim panen terakhir, panen padi sekitar 1 hektar menghasilkan 6 ton gabah kering.
“Biasanya musim tanam kedua selalu ada penurunan curah hujan. Hasil panen selalu tergantung cuaca. Panen akan lebih bagus jika hujan tidak ekstrem,” ujar Hardiono.
Secara terpisah, anggota Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Pedagang Beras (Perpadi) Jawa Tengah, Damin Hartono mengatakan, upaya menstabilkan harga beras, tidak bisa lagi hanya melalui operasi pasar. Hal itu kerap gagal karena Perum Bulog tidak memiliki stok beras lebih.
Program rastra (beras untuk keluarga miskin) juga tidak efektif. Bahkan, Juli nanti, rastra akan dihentikan setelah keluarga miskin mendapat program bantuan pangan non tunai (BPNT) melalui kartu dengan jatah Rp 110.000 per bulan per keluarga.
Untuk itu, dia mengusulkan pemerintah dan Perum Bulog membangun pasar sentra beras dengan anggaran pusat.
“Selain pusat bisnis, fungsi pasar sentra juga sebagai pemantau stok beras secara riil untuk mengamankan hasil panen petani agar tidak diborong tengkulak dari luar daerah. Tentu saja, fungsi pasar sentra ini berbeda dengan Pasar Induk Cipinang Jakarta atau pasar induk beras Dargo, Semarang. Lokasi pasar sentra harus dekat dengan sentra padi, seperti di Demak,” ujar Damin.