Kepala Dinas Lingkungan Hidup Jabar Anang Sudarna di Bandung, Senin (5/3), berharap, dengan anggaran sebesar itu, kerja sama antardaerah akan efektif. ”Program pemulihan Citarum akan dilakukan bersinergi dari hulu ke hilir antara pemerintah kota dan kabupaten di Jabar,” ujarnya di Bandung, Senin.
Ia mencontohkan program pembersihan muara Sungai Cikapundung dari sampah, salah satu anak Sungai Citarum di Cijagra, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Endapan sampah yang genangannya seluas 400 meter persegi itu menjadi potret minimnya kesadaran warga menjaga sungai. Ironinya, beberapa kali diangkat, sampah selalu muncul, terutama saat turun hujan deras.
Hingga akhir pekan lalu, jumlah sampah yang diangkut tentara, relawan bencana, aktivis lingkungan, dan warga mencapai 15 truk. Sampah-sampah itu tersangkut di jembatan Cijagra. Jenis sampahnya bervariasi, mulai dari gelas dan botol plastik, sandal, hingga bangkai hewan.
Meski genangan sampah itu di Kabupaten Bandung, Anang mengatakan, peran Kota Bandung harus berjalan bersamaan. Alasannya, sebagian sampah diduga berasal dari Kota Bandung. Untuk mewujudkan hal itu, kerja sama antardua daerah itu akan berada dalam pengawasan Pemprov Jabar dan Satuan Tugas Pemulihan Citarum.
”Tak hanya mengangkat sampah yang menggenang. Namun, juga membangun kesadaran warga untuk bisa peduli terhadap kebersihan sungai. Ini tantangan besar semua daerah yang dilintasi Citarum,” kata Anang.
Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bandung Dedy Dharmawan berpendapat, kesadaran untuk mengubah kebiasaan membuang sampah sembarangan menjadi kunci menjaga Cikapundung. Warga perlu diedukasi untuk menumbuhkan kepedulian menjaga kebersihan sungai. ”Membuang sampah ke sungai telanjur jadi kebiasaan. Proses edukasi warga sangat penting agar berperan aktif menjaga sungai,” ujar Dedy.
Menurut Dedy, upaya mengurangi pembuangan sampah ke sungai juga telah dimulai dengan menjalankan program pemilahan sampah rumah tangga. Sampah organik bisa diolah menjadi kompos. Selain mengurangi volume sampah terbuang, warga diuntungkan dari penjualan kompos.
Potensi pengolahan sampah menjadi kompos itu cukup besar. Sebab, dari 1.500 ton per hari sampah yang dihasilkan di Kota Bandung, lebih 60 persen di antaranya berupa sampah organik, seperti dari sisa sayuran, kulit buah, dan buah-buahan busuk.
”Kami siap menampung kompos warga hingga 60 ton per hari. Pasarnya sudah ada. Namun, itu belum efektif. Sebab, warga cenderung tak ingin repot memilah sampah. Ini disayangkan karena sampah rentan memicu banjir di Citarum,” katanya.
Belum tumbuhnya kesadaran menjaga sungai, berbanding lurus dengan rentannya warga di sekitar Citarum terkena banjir. Di Kelurahan Andir, Kabupaten Bandung, kawasan tempat bertemunya Sungai Citepus, Cikapundung, Citarum, dan Sungai Cisangkuy, warga merasakan dampaknya. Sejak dua pekan lalu, rumah warga direndam banjir setinggi 110-240 cm.
Lurah Andir Saef mengatakan, banjir kali ini adalah yang terparah sejak 17 tahun terakhir. Sudah hampir dua pekan, banjir merendam sekitar 4.000 rumah yang dihuni 14.222 orang. ”Tidak semuanya mengungsi, banyak juga yang bertahan di lantai dua rumah mereka,” katanya.
Sejumlah peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang terdiri dari pakar geoteknologi dan sosiologi, melakukan riset dengan menyusuri Citarum, 2-5 Maret lalu, terkait upaya revitalisasi Citarum.
Salah satu temuannya, telah terjadi penguapan (evaporasi) air tanah secara bebas ke udara. Pemanasan kawasan hulu (hill heat) yang menyebabkan evaporasi itu, menyumbang hingga sekitar 30 persen hilangnya kandungan air tanah secara cepat ke udara.
Profesor riset bidang sosiologi pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, Henny Warsilah, Senin, mengatakan, Jakarta sebagai salah satu kawasan hilir, yang tergantung pada aliran sungai itu, bisa mengalami dampak krisis air bersih, banjir, pencemaran laut akibat limbah industri, dan keracunan pangan ikan. (SEM/TAM/INK)