Menebang Ganja, Menanam Palawija
Kisah hidup para mantan petani ganja di Lamteuba, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, sangat dramatis. Mereka berjuang dari peladang ganja menjadi petani palawija yang bertekad kuat mengubah masa depan.
Siang yang terik, Kamis (2/3), Fauzan (29) dan Fakri (48) sedang mengawasi pekerja menjemur kedelai di halaman rumah warga, di Desa Lambada, Lamteuba. Dua perempuan paruh baya meratakan biji kedelai dengan papan yang dipasangi gagang kayu.
“Kedelai ini harus dijemur selama tiga hari agar benar-benar kering, kadar airnya harus sebelas persen. Kalau tidak, nanti bisa berjamur,” kata Fauzan.
Fauzan adalah ketua kelompok tani Oisca, sedangkan Fakri sekretaris kelompok. Kelompok tani Oisca memiliki anggota 200 orang. Selain menanam kedelai, kini mereka menanam padi ladang, cabai, dan lainnya.
Siang itu, puluhan karung berisi kedelai ditumpuk di dekat tiang rumah panggung. Kedelai itu disiapkan sebagai benih yang akan dijual kepada Pemkab Aceh Besar dengan harga Rp 10.000 per kilogram. Oleh pemerintah, kemudian disalurkan kepada petani di kabupaten itu.
“Kami ditantang menghasilkan 70 ton kedelai, sampai sekarang sudah ada 50 ton. Kami yakin bisa menghasilkan 100 ton,” ujar Fauzan sambil memperlihatkan biji-biji kedelai. “Jika mencapai target, tahun depan kami diminta menyediakan benih untuk tiga kabupaten,” lanjutnya.
Kualitas kedelai Lamteuba, kata Fauzan, sangat bagus. Barangkali karena daerah itu tanahnya cukup subur. Kawasan Lamteuba sangat cocok dijadikan pusat pertanian, selain tanahnya yang subur, ketersediaan air melimpah. Lamteuba berada di kaki gunung api Seulawah.
Produksi ganja
Selama ini Lamteuba dikenal sebagai daerah penghasil ganja. Setiap tahun puluhan hektar ladang ganja dimusnahkan di kawasan itu. Bahkan, pada 2016, saat Badrodin Haiti menjabat sebagai Kapolri, ia pernah melakukan pemusnahan ladang ganja di Lamteuba.
Di Lamteuba terdapat delapan desa. Warga di sana mayoritas petani palawija dan padi. Namun, ada juga sebagian yang mencoba mencari peruntungan dengan menanam ganja, seperti pernah dilakukan Fauzan dan Fakri.
Fauzan mulai terlibat dalam bisnis ilegal itu sejak tahun 2002. Saat itu, usianya masih 13 tahun. Dia mendapatkan tugas mengangkut ganja kering dari tengah hutan ke tempat muat. Sekali angkut dapat upah Rp 50.000.
Fauzan merasa sangat gampang mendapatkan uang, hanya dengan mengeluarkan ganja dari hutan. Dia tidak memikirkan risikonya besar, dia bisa saja ditangkap oleh aparat dan berakhir ke penjara.
Setahun kemudian, dia nekat menanam sendiri. Dia mengajak empat orang teman sebaya untuk menanam ganja dan berharap memperoleh untung besar. Menanam ganja tidak butuh modal besar. Benih diambil dari hasil panen di ladang orang lain. Sedangkan lahan tinggal buka di tengah hutan.
Dia memperoleh informasi ada mafia besar di Jawa yang siap menampung ganja mereka. Setelah menunggu lima bulan tananam ganja siap dipanenkan. Dengan penuh semangat ganja itu ditebang dan dikeringkan di hutan.
Ganja yang sudah dipak dibawa turun ke tepi jalan yang sepi untuk dimuat ke mobil. Untuk menghindari endusan aparat mereka bekerja malam hari. Butuh waktu berhari-hari mengangkut ganja dari hutan. “Kalau ada isu aparat masuk, ganja kami sembunyikan di hutan, besoknya lanjut lagi,” kata Fauzan.
Beberapa hari setelah ganja keluar ke Jawa, ia mendapat kabar barang dan penampung ditangkap polisi. Harapan memperoleh untung besar pupus. Kerja keras sia-sia. Kabar penangkapan sekaligus membuat dia tidak tenang. Dia khawatir si penampung membocorkan kepada petugas di mana mereka memperoleh ganja.
“Saya selalu was-was dan merasa takut. Pokoknya setiap hari harus kucing-kucingan sama polisi,” ujarnya.
Padahal kabar penangkapan penampung itu tidak benar. Ganja yang ditanam Fauzan telah dijual sepihak oleh penampung. “Kami ditipu oleh mafia, ganja tidak ditangkap. Kami dibodohi dan ditipu,” ucap Fauzan.
Kemiskinan
Lamteuba berada di kaki Gunung Seulawah. Dari Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh berjarak sekitar 50 kilometer. Pada masa konflik Lamteuba minim tersentuh pembangunan. Lamteuba seperti dilupakan. Kondisi ekonomi warga terpuruk. Rumah-rumah prasejahtera mudah dijumpai di sana. Tingkat pendidikan juga masih rendah.
Fakri menuturkan, keterdesakan ekonomi memicu warga menanam ganja. Sementara harga holtikultura sering anjlok. “Sebenarnya kami tidak ingin menyusahkan diri dengan pekerjaan tidak benar. Tapi, karena kebutuhan hidup, terpaksa menanam ganja,” ujar Fakri.
Pada 2005, Fauzan dan Fakri memutuskan berhenti jadi petani ganja. Kehidupan sebagai petani ganja tidak tenang dan selalu dalam rasa was-was. Fauzan kembali menanam cabai. Kebetulan kala itu harga cabai sedang mahal, Fauzan memperoleh pendapatan sekitar Rp 50 juta dalam sekali panen.
Pada tahun 2009, Fauzan dikirimkan oleh Pemkab Aceh Besar ke Oisca Training Center di Sukabumi, Jawa Barat untuk belajar tentang pertanian. Dia mempelajari cara merawat tananam dan mengelola pascapanen.
Pulang dari Sukabumi dia mengajak kawan-kawan yang masih menanam ganja beralih menanam palawija. Fauzan membentuk kelompok tani yang diberi nama Oisca, sama dengan tempat dia belajar. Yang mau bergabung hanya 15 orang.
Pada 2016, Badan Narkotika Nasional bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, TNI AD, dan pemerintah daerah meluncurkan program grand desain alternative development (GDAD), mengalihkan ladang ganja menjadi lahan pertanian dan agrowisata. Selain di Lamteuba program serupa dilakukan di Gayo Lues dan Bireuen.
Kementerian Pertanian mencetak sawah baru untuk para petani ganja, serta membantu bibit padi serta kedelai. Sawah ladang yang dibuka mencapai 98 hektar dan dikelola oleh anggota kelompok tani Oisca. Saat ini jumlah anggota kelompok mencapai 200 orang.
Di sawah ladang itu ditanami padi gogo dan kedelai secara bergantian. Hasil panen padi untuk kebutuhan konsumsi sendiri sedangkan kedelai dijual. Hasil panen kedelai dijual kepada kelompok tani dengan harga lebih tinggi dari harga pasar.
Ekonomi mereka perlahan membaik. Namun, kata Fauzan, mereka butuh pendampingan berkelanjutan supaya sukses dalam bertani. “Kami juga ingin mengubah pandangan orang terhadap Lamteuba, kalau dulu disebut penghasil ganja, ke depan harus dikenal sebagai penghasil palawija,” ucap Fauzan.
Wakil Gubernur Aceh Nova Iriansyah mengatakan program GDAD sebagai upaya menghentikan produksi ganja dan meningkatkan ekonomi mantan petani ganja. Nova optimis dengan kerja sama lintas lembaga pemerintah Aceh yang selama dilabeli daerah penghasil ganja akan berganti dengan penghasil palawija.