Industri Karet Terancam
MEDAN, KOMPAS — Rencana pemerintah mengeluarkan industri karet remah dari daftar negatif investasi mengancam kedaulatan industri karet negeri yang sudah dikuasai pemodal asing 61 persen. Pabrik karet remah dalam negeri akan terpuruk karena investor yang akan masuk adalah perusahaan pembeli karet remah Indonesia.
”Tampaknya pemerintah hanya mengejar target investasi tanpa melihat sektor mana yang menguntungkan bagi Indonesia dan sektor mana yang harus dilindungi,” kata Penasihat Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Daud Husni Bastari saat dihubungi Kompas dari Medan, Sumatera Utara, Kamis (8/3).
Menurut Husni, pemerintah seharusnya memperbaiki iklim investasi industri karet di sektor hilir, seperti industri ban, sarung tangan, dan sandaran pelabuhan. Bukan malah membuka keran investasi semakin ke hulu karena akan mengurangi nilai tambah yang akan diperoleh Indonesia.
Puluhan pabrik sarung tangan di Medan, kata Husni, justru tutup dan pindah ke negara tetangga karena krisis gas dalam beberapa tahun belakangan. Kalau ingin membenahi industri karet dalam negeri, pemerintah seharusnya mencari jalan keluar untuk krisis energi ini sehingga iklim investasi di sektor hilir bisa semakin baik.
Puluhan pabrik sarung tangan di Medan justru tutup dan pindah ke negara tetangga karena krisis gas dalam beberapa tahun belakangan.
Sekretaris Gapkindo Sumut Edy Irwansyah mengatakan, industri karet Indonesia saat ini tengah terpuruk karena harga karet yang anjlok dan menurunnya produksi. Pabrik-pabrik di Sumut pun mengalami kapasitas menganggur hingga 50 persen karena pasokan karet petani turun. ”Kehadiran perusahaan PMA di industri karet remah yang merupakan bahan setengah jadi memperparah keterpurukan industri karet dalam negeri,” katanya.
Terpuruk
Edy mengatakan, harga karet remah di pasar dunia dalam lima tahun terakhir sekitar 1,5 dollar Amerika Serikat per kilogram, terpuruk setelah pernah mencapai 4,5 dollar AS. Harga di tingkat petani pun anjlok hingga Rp 5.000 per kilogram, jauh di bawah harga tahun 2011 yang pernah mencapai Rp 18.000 per kilogram.
Anjloknya harga ini, kata Edy, telah membuat banyak petani meninggalkan kebunnya atau menggantinya dengan tanaman lain. Akibatnya, pasokan getah karet untuk 28 pabrik di Sumut berkurang. Kapasitas total pabrik karet remah di Sumut 800.000 ton per tahun, tetapi yang terpenuhi hanya sekitar 400.000 ton. ”Terjadi kapasitas menganggur hingga 50 persen. Masuknya perusahaan PMA justru akan menambah kapasitas menganggur. Pabrik-pabrik akan mengalami inefisiensi,” katanya.
Menurut Edy, jika keran investasi dibuka lebar bagi asing, perusahaan yang akan masuk ke Indonesia adalah perusahaan pembeli karet remah Indonesia, yakni perusahaan pabrik ban dan sarung tangan dari China, Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Eropa. Pabrik karet remah dalam negeri justru akan kehilangan pasar. Perusahaan PMA akan semakin ke hulu mencengkeram industri karet dalam negeri.
Martiani beru Sebayang (26), petani dan tauke karet di Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hulu, Kabupaten Deli Serdang, mengatakan, beberapa tahun ini harga karet di tingkat petani hanya Rp 5.000 per kilogram. Akibatnya, banyak petani karet yang membiarkan pohon karet mereka terbengkalai dan tidak disadap lagi. (NSA)