Rumah Sakit Universitas Airlangga Buka Unit Cuci Darah
Oleh
IQBAL BASYARI
·2 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Rumah Sakit Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur, membuka layanan unit cuci darah atau hemodialisis, Jumat (9/3). Tambahan layanan medis ini membuat lokasi cuci darah pasien ginjal di Surabaya makin bertambah.
Direktur Rumah Sakit Universitas Airlangga Nasronudin mengatakan, unit hemodialisis dibuka karena banyak pasien ginjal di RS Universitas Airlangga tidak bisa melakukan cuci darah di rumah sakit tersebut. Mereka harus dirujuk ke rumah sakit lain yang memiliki unit hemodialisis, seperti di RS Dr Soetomo.
Sekarang, pasien yang ingin cuci darah bisa langsung ditangani di RS Universitas Airlangga.
”Sekarang, pasien yang ingin cuci darah bisa langsung ditangani di RS Universitas Airlangga. Warga sekitar rumah sakit yang ingin cuci darah juga semakin dekat,” katanya.
Saat ini, ada sembilan alat cuci darah di RS Airlangga. Alat ini akan terus ditambah karena dipastikan masih kurang sebab jumlah tempat tidur di rumah sakit ini mencapai 700 unit. Penambahan alat ini dimaksudkan agar bisa menampung pasien yang selama ini belum tertampung.
”Layanan cuci darah di RS Universitas Airlangga sudah ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan,” katanya.
Ketua Persatuan Nefrologi Jatim Pranawa mengatakan, pasien ginjal kronis sampai pada tahap akhir tidak bisa lagi menjalani pengobatan dengan obat, tetapi perlu perawatan pengganti ginjal, salah satunya dengan cuci darah.
Setiap bulan, pasien ginjal perlu 10 kali cuci darah yang memakan biaya sekitar Rp 1 juta setiap tindakan. Dengan biaya cuci darah ditanggung BPJS Kesehatan, dipastikan jumlah pasien cuci darah akan terus meningkat. ”Kebutuhan rumah sakit penyedia layanan cuci darah harus ditingkatkan agar bisa melayani semua pasien cuci darah,” ujarnya.
Layanan cuci darah di RS Universitas Airlangga sudah ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan.
Kementerian Kesehatan mencatat, jumlah penderita penyakit ginjal menempati urutan kedua setelah penyakit jantung. Data Riskesdas 2013 menunjukkan, angka kejadian penyakit ginjal kronis (PGK) di Indonesia pada usia 15 tahun sebesar 0,25 persen.
Jumlah penderita di pedesaan (0,3 persen) lebih banyak daripada di perkotaan (0,2 persen). Jumlah penderita diperkirakan akan semakin bertambah karena tingginya prevalensi hipertensi dan diabetes di Indonesia.
Bagi penderita penyakit hemodialisis ginjal kronis seperti gagal ginjal, satu-satunya cara bertahan hidup adalah melalui hemodialisis. Hemodialisis secara sederhana adalah proses pembersihan darah dari zat-zat sampah, melalui proses penyaringan di luar tubuh.