Bayar Pajak Lewat Bobok Bumbung
Barisan pemusik terdiri dari sekelompok penabuh kentongan dan grup marching band. Tembang tradisional, seperti ”Prau Layar”, dikumandangkan mengiringi rangkaian kirab bumbung atau celengan/tabungan yang terbuat dari bambu berisi uang untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Bumbung ditata rapi dalam tandu berbentuk miniatur rumah adat yang disebut jelong. Kemudian ditandu empat orang lalu diarak oleh warga per rukun tetangga. Setidaknya ada 12 kelompok atau 12 RT yang memeriahkan kirab itu.
Ratusan warga antusias mengarak bumbung pajak keliling desa sejauh 3 kilometer. Mereka pun merias diri dan berbusana semarak. Orang dewasa, laki-laki dan perempuan, mengibar-ngibarkan bendera Merah Putih ukuran kecil. Anak-anak dan remaja mendorong mainan mobil-mobilan dari sabut kelapa, juga otok-otok miniatur mobil dari bambu serta kaleng bekas. Ada pula yang menyusun gedebok pisang atau batang daun pisang untuk dijadikan senapan.
Di sela-sela rombongan warga pengangkut jelong yang berisi bumbung, ada pula kelompok kesenian tradisional yang ikut menyemarakkan kirab tersebut. Kelompok kuda lumping atau ebeg berdandan sangar sambil menunggangi kuda dari anyaman bambu.
Gotong royong
Setelah berkeliling desa, rombongan kirab memasuki pelataran balai desa. Di sana, para ibu sudah menyiapkan kudapan lezat, seperti bubur candil, bubur merah, kacang rebus, ubi rebus, dan singkong rebus, untuk dibagikan secara gratis. ”Senang rasanya setiap tahun digelar acara ini. Desa jadi ramai,” kata Darto Sutono (61), warga setempat.
Darto mengatakan, dirinya turut membayar Pajak bumi dan Bangunan Rp 70.000 untuk tanah miliknya seluas 90 ubin atau sekitar 1.260 meter persegi yang ditanami pisang.
Demikian pula dengan Notomiharjo (48) yang membayar pajak sebesar Rp 25.000 untuk tanah seluas 50 ubin atau 700 meter persegi yang dimilikinya. ”Warga cukup antusias. Setiap RT mendapat uang Rp 1 juta dari desa untuk membuat jelong dan memasak makanan. Lebih dari 200 orang di RT saya terlibat,” kata wakil ketua RT 012 ini.
Hadisumarto (59), warga RT 005 yang juga mantan ketua RT, mengaku senang dengan pergelaran yang dilakukan sejak empat tahun terakhir ini. ”Kami kompak dan bersama-sama menyiapkan acara ini. Yang lebih penting, pengurus RT sekarang tidak perlu menagih-nagih warganya untuk membayar pajak,” ujarnya.
Pergelaran budaya bobok bumbung ini digelar selama empat hari, yaitu pada 16-19 Februari. Bobok bumbung secara harfiah berarti memecah atau membuka celengan yang terbuat dari bambu (bumbung). Pergelaran budaya dan atraksi kesenian rakyat ditampilkan untuk memperkenalkannya kepada generasi muda sekaligus sebagai upaya pelestarian kesenian yang hampir punah, seperti buncisan dan seni cowong yang para pemainnya berusia lebih dari 40 tahun.
Taat pajak
Selain itu, ada pula tampilan seni tradisional sintren dan ketoprak. Bagi masyarakat juga digelar bazar murah, shalawatan, lomba mewarnai bagi anak-anak, dolanan tradisional, serta sarasehan budaya. ”Pergelaran budaya ini diadakan agar masyarakat lebih guyub, rukun, bersatu, serta taat membayar pajak,” kata Kepala Desa Pesanggrahan Sarjo.
Sarjo menyampaikan, warga di desa memiliki kebiasaan menabung dan menyimpan uang dalam bumbung atau bambu yang panjangnya berkisar 20-30 sentimeter. Warga kemudian diarahkan untuk menabung selama setahun guna membayar Pajak Bumi dan Bangunan.
Setelah diarak bersama, lebih dari seribu bumbung itu dikumpulkan di balai desa, lalu dicatat per keluarga, kemudian diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten Cilacap. ”Besarnya pajak dari Desa Pesanggrahan tahun ini mencapai Rp 40 juta untuk luas tanah 153 hektar,” kata Sarjo. Desa ini dihuni 4.610 jiwa dengan 1.212 kepala keluarga.
Wakil Bupati Cilacap Syamsul Auliya Rachman mengapresiasi inisiatif desa menggelar kirab ini. Sebab, selain menjadi teladan dalam membayar pajak, desa ini juga dapat melestarikan kesenian tradisional.
Daryo, pemerhati wisata dari Kabupaten Banjarnegara yang diundang perangkat desa dan kecamatan setempat, menyampaikan, potensi seni budaya Desa Pesanggrahan sangat besar untuk dikembangkan menjadi desa wisata. ”Pergelaran budaya di tempat ini cukup unik. Warga bergotong royong dan dengan bahagia mereka membayar pajak bersama-sama,” kata Daryo yang juga turut membidani lahirnya Dieng Culture Festival.