Budaya Negatif Penumpang Pesawat yang Menyebalkan
Wartawan Harian KOMPAS, Ambrosius Harto (BRO), menjadi salah satu jurnalis yang diundang untuk hadir dalam lomba rancang bangun mobil masa depan Shell Eco-Marathon 2018 di Changi Exhibition Center, Singapura.
Kompetisi yang berlangsung kurun Kamis (8/3) sampai Minggu (11/3) itu diikuti oleh 126 tim dari 18 negara di Asia. Indonesia menjadi pengirim terbanyak dengan 26 tim dari 20 perguruan tinggi di Sumatera, Jawa, dan Kalimantan.
Perjalanan dimulai dari Surabaya, ibu kota Jawa Timur, tempat bertugas di Harian KOMPAS. Untuk mencapai Singapura, saya memilih bepergian terlebih dahulu ke Jakarta untuk bertemu jurnalis lainnya dan tim pendamping untuk acara Shell Eco-marathon 2018 itu.
Dari Surabaya, Rabu (7/3), saya memakai penerbangan pukul 05.45 WIB dengan waktu tiba di Jakarta pukul 07.15 WIB. Pesawat yang akan menerbangkan kami ke Singapura berangkat pukul 11.45 WIB dari Jakarta sehingga penerbangan pertama dari Surabaya tidak akan membuat saya tertinggal.
Penerbangan dari Bandar Udara Juanda di Sidoarjo yang saya gunakan berlangsung tepat waktu. Itu pun bisa dimaklumi. Jika penerbangan pertama suatu maskapai terlambat, tentu akan membuat mundur jadwal penerbangan selanjutnya. Soal mundur dan tertundanya penerbangan di Indonesia, saya merasa sudah cukup kenyang pengalaman.
Hampir pukul 05.00 WIB, saya sudah tiba di Juanda dan masuk ke barisan penumpang untuk mencetak tiket. Saya sudah melakukan check in penerbangan tetapi belum mendaftarkan dan memasukkan bawaan (bagasi) lewat meja tugas maskapai.
Di sanalah sesuatu yang tak menyenangkan terjadi. Sebagai warga masyarakat yang mengetahui norma tata tertib dan kesopanan, kita sewajarnya tahu bahwa mengantre adalah budaya yang tertib.
Di depan saya ada seorang lelaki yang menunggu dipanggil ke meja check in. Nah, secara wajar, jika lelaki itu sudah selesai, berikutnya adalah giliran saya. Namun, pagi itu, tidak terjadi dengan saya. Tiba-tiba seorang bapak berusia di atas 50 tahun menyerobot antrean.
Ia pun maju ke meja check in dan menyerahkan tiket penerbangan. Belum habis kebingungan saya dan belum sempat menegur, tiba-tiba terdengar suara perempuan dari belakang. “Amit (permisi), Mas,” ujar perempuan yang ternyata istri dari bapak itu.
Dengan agak bingung, saya sempat membiarkan mereka menyerobot antrean. Namun, rasa kesal sekaligus iba membuat saya penasaran untuk bertanya. Penumpang lain yang mengantre di belakang saya juga meminta agar saya menegur pasangan itu.
Okelah, akhirnya saya menegur pasangan itu karena menyerobot antrean. Yang ditegur cuma diam, tertunduk, tetapi kemudian berlalu setelah urusan check in mereka selesai.
“Lah, Mas, mereka enggak minta maaf,” kata penumpang di belakang saya. Saya pun mengajak mereka untuk memaklumi kondisi itu meski dalam hati tentu ada kejengkelan.
Peristiwa kurang menyenangkan di jalur check in ternyata berlanjut. Sebelum masuk pesawat, penumpang masuk ruang tunggu. Di Ruang Tunggu 10 Terminal 1B pagi itu, saya agak kesulitan mencari tempat duduk.
Di kejauhan saya melihat ada empat kursi tampak kosong meski di sekitarnya telah diduduki. Saat saya dekati ternyata kursi itu ditiduri seorang lelaki. Saya pun bengong dan tersenyum geli melihat lelaki yang tidur nyenyak itu. Di sekitarnya, penumpang mungkin menyimpan kejengkelan atau acuh tak acuh. Di depan lelaki itu saya mendapat duduk.
Sambil menunggu dan melihat sekeliling muncul rasa kesal sebab karena empat kursi “dimonopoli” oleh satu orang tidur. Itu membuat penumpang harus mencari tempat duduk yang masih tersedia atau malah berdiri saat ruang tunggu terisi penuh.
Saya bertanya kepada sejumlah penumpang mengapa tidak membangunkan lelaki itu. Mereka sungkan sehingga membuat saya memberanikan diri mendatangi petugas, melapor, dan membangunkan si penumpang tertidur itu.
Singkat cerita, penumpang itu bangun dan tidak lagi “menguasai” empat kursi untuk dirinya. Sebelumnya, saya sempat memotretnya dan mengunggah ke media sosial buat pamer bahwa masih ada bahkan banyak lho orang-orang yang semaunya sendiri.
Selanjutnya, saya terbang dan mendarat di Bandar Udara Soekarno-Hatta di Tangerang, bertemu dengan jurnalis lainnya, dan tim pendamping. Sambil menunggu penerbangan ke Singapura, kami habiskan dengan bersantap dan mengobrol. Ada juga yang mulai motret-motret dan merekam suasana Terminal 3 itu mungkin untuk kepentingan sendiri atau bagian dari peliputan menuju Singapura.
Selanjutnya, di Singapura, kami tak menemui kendala apapun. Di Bandar Udara Changi, kami dijemput oleh seorang lelaki dan diantar dengan bus mini ke penginapan di Changi Village Hotel. Sekitar pukul 17.00-19.00 waktu Singapura yang sama dengan Waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA), empat jurnalis yang diundang oleh Shell “nongkrong” di pusat jajaran dekat hotel.
Sore itu, kami habiskan dengan ngobrol, menikmati suasana, dan mengudap makanan India yakni roti prata dan roti canai dengan kari dan menyeruput teh susu atau es teh manis. Ada sih yang memesan nasi goreng karena beralasan sejak pagi belum makan nasi.
Pada pukul 19.30, kami menghadiri santap malam khusus untuk jurnalis dari Asia di hotel itu. Tak banyak yang bisa kami masukkan dalam perut karena kurang dari satu jam sebelumnya kami jajan di kedai dekat hotel.
Saya pribadi hanya menyantap tiga udang masak telur asin lalu nanas dan semangka potong, dan minum air putih. Selanjutnya, menghabiskan satu-dua ja, dengan menonton televisi dan membaca lembaran informasi dari panitia sebelum takluk dan masuk dalam dunia mimpi.