REMBANG, KOMPAS — Dalam tiga tahun terakhir, pariwisata di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, semakin menggeliat. Sejumlah bangunan Tionghoa kuno yang dulu terabaikan kini dimanfaatkan menjadi penginapan, restoran, galeri batik, dan museum sejarah. Eksotisme kawasan berjuluk ”Tiongkok Kecil” ini membidik pelancong mancanegara.
Pantauan Kompas, Jumat (9/3), sejumlah bangunan Tionghoa kuno yang sempat mati suri kini kembali berfungsi. Di kawasan pecinan Lasem sedikitnya sepuluh bangunan kuno yang telah direvitalisasi, antara lain Tiongkok Kecil Heritage (Rumah Merah), Museum Nyah Lasem, Restoran Hokkie, Penginapan Lawang Ijo, dan Polsek Lasem.
Pemilik Museum Nyah Lasem, Soesantio (70), menuturkan, rumah keluarga di lahan seluas 400 meter persegi itu sempat tidak terurus dan mulai diperbaiki pada 2016. Kini, museum memuat puluhan foto sejarah dan kehidupan pecinan Lasem, seperti surat jual-beli batik era kolonial Belanda, koleksi prangko tahun 1945, dan pameran kegiatan remaja Tionghoa di Lasem sebelum Perang Dunia II. Keinginan untuk memperbaiki rumah menjadi museum dan penginapan tamu atas usulan keluarga.
”Banyak rumah kuno di Lasem yang dianggap tidak memiliki nilai ekonomi. Kusen kayu lama dicabut, dijual, atau dipasang di tempat lain. Kami tidak ingin hal itu terjadi pada rumah keluarga ini,” kata Soesantio.
Geliat wisata ikut menghidupkan batik tulis lasem. Beberapa tempat pembuatan batik baru bermunculan, salah satunya Batik Kidang Mas milik Devina Dwi Atmaja. Usaha batik tulis ini mulai dibangun pada 2014 dan mempekerjakan sekitar 25 pembatik. Harga batik berkisar Rp 150.000-Rp 7 juta bergantung pada kerumitan motif dan warna.
”Tiga tahun terakhir, bisnis batik tulis tumbuh lagi. Omzet bisa mencapai Rp 30 juta satu minggu saat musim libur dan panen,” ujar Devina.
Wisata toleransi
Lasem terletak sekitar 12 kilometer dari pusat kota Rembang di pesisir utara Jawa Tengah. Di kawasan ini terdapat kompleks pecinan terbesar, yakni seluas 40 hektar. Pecinan Lasem dibangun pada abad ke-18 dan terbagi dalam empat wilayah, yakni Soditan, Gambiran, Karangturi, dan Babagan.
Lasem juga menarik karena iklim toleransinya. Pondok Pesantren Kauman Lasem tumbuh di tengah kompleks permukiman warga Tionghoa di Desa Karangturi, Kecamatan Lasem. Pesantren dibangun pada 2003 oleh KH Zaim Ahmad. Langgam arsitektur perpaduan China, Arab, dan Jawa di bangunan pesantren menarik wisatawan untuk singgah. ”Pondok pesantren ini mencerminkan toleransi yang mengakar di Tiongkok Kecil,” kata Zaim.
Di Lasem juga terdapat sejumlah situs sejarah Islam, seperti makam Sultan Mahmud Al Minangkabai, Pasujudan Sunan Bonang, Masjid Jami Lasem, dan makam Mbah Sambu dan mertuanya, Mbah Srimpet (Adipati Tedja Kusuma). Sejumlah suku dan agama hidup berdampingan sejak puluhan tahun lalu.
Baskoro Darmawan yang akrab disapa Pop, pegiat wisata #Discoverlasem, mengatakan, pihaknya menyediakan berbagai paket wisata menyusuri kawasan pecinan. Harga paket 2 hari 1 malam berkisar Rp 900.000-Rp 1,2 juta per orang termasuk makan, penginapan heritage, dan antar-jemput Semarang-Lasem.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Rembang Dwi Purwanto mengatakan bahwa pemerintah sedang menyusun Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan pecinan Lasem. (KRN)