Menkes Dorong Penanggulangan Masalah Gizi Buruk dan Kontet
Oleh
Jumarto Yulianus
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS – Masalah kependudukan di Indonesia masih cukup banyak. Itu menjadi tantangan dalam upaya mewujudkan pembangunan manusia Indonesia yang cerdas, sehat, dan berbudi pekerti luhur.
Di bidang kesehatan, masalah yang masih terjadi pada penduduk Indonesia adalah masalah gizi buruk dan balita pendek atau stunting (kekurangan energi kronis dan tampilan fisik pendek). Sampai saat ini, kasus gizi buruk dan stunting masih cukup tinggi.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek pada Pembukaan Rapat Kerja Nasional Koalisi Kependudukan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (9/3) malam, mengatakan, pemerintah memberi perhatian lebih pada kasus stunting karena dikhawatirkan akan menghambat pembangunan manusia.
”Stunting tidak hanya menyebabkan badan kerdil, tetapi kognitif atau kecerdasannya juga berpotensi kerdil dan tidak terlalu bagus. Ini bisa menjadi hambatan bangsa Indonesia untuk maju,” kata Nila.
Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting nasional mencapai 37,2 persen. Artinya, pertumbuhan tak maksimal diderita sekitar 8,9 juta anak Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia.
”Kami tidak menginginkan stunting terus menjadi persoalan. Karena itu, pemerintah mendorong persoalan itu harus diselesaikan. Setelah diintervensi dengan pemberian makanan tambahan dan edukasi, prevalensinya kini turun menjadi 27,5 persen,” paparnya.
Untuk mengurangi stunting, menurut Nila, harus dilakukan dengan kegiatan lintas kementerian atau lembaga sampai ke tingkat desa. Jenis intervensi penurunan stunting yang harus ada di desa, antara lain pemberian tablet tambah darah untuk remaja putri, calon pengantin, dan ibu hamil.
Kemudian, pemberian makanan tambahan untuk ibu hamil kurang energi kronis, promosi menyusui ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI, pemberian makanan tambahan untuk balita kurus, suplementasi multivitamin dan mineral, serta sarana air bersih dan rumah pangan.
Cegah pernikahan dini
Selain itu, tak kalah pentingnya, adalah mencegah pernikahan dini. Ini juga salah satu faktor yang menyebabkan stunting. Di beberapa daerah, misalnya Papua, masih ditemukan perempuan menikah usia 12 tahun. Akibat mentalnya belum matang, mereka juga tidak bisa merawat dan mendidik anak.
”Kami berharap anak-anak bisa menyelesaikan wajib belajar 12 tahun, sehingga usia menikah perempuan bisa di atas 18 tahun. Kalau mereka menikah usia 19-20 tahun, akan jauh lebih baik,” kata Nila.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sigit Priyo Hutomo mengemukakan, ada 100 kabupaten/kota di Indonesia yang akan mengembangkan desa stunting pada 2018.
”Dari BKKBN berupaya agar 100 kabupaten/kota itu juga sekaligus mengembangkan kampung KB karena di 60 kabupaten/kota, desa stunting sudah beririsan dengan kampung KB. Tahun ini, kami berharap 40 kabupaten/kota yang lain bisa melengkapinya dengan kampung KB,” katanya.
Ketua Umum Koalisi Kependudukan Pusat Sonny Harry B Harmadi menyampaikan, Rakernas Koalisi Kependudukan di Banjarmasin mengangkat tema ”Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Berkeadilan untuk Percepatan Pembangunan Manusia”. Kegiatan berlangsung pada 8-11 Maret.
”Salah satu yang menjadi pokok perhatian kami dalam Rakernas kali ini yaitu bagaimana mencegah pernikahan dini, yang angkanya masih cukup tinggi. Kerugian negara akibat pernikahan dini mencapai Rp 300 triliun per tahun,” ungkapnya.