Batik Lasem Terancam
Priscilla Renny, generasi ke-5 batik tulis lasem Ong’s Art Maranatha, menuturkan, distributor batik Maranatha ada di sejumlah daerah, seperti di Serang, Surabaya, Madura, dan Jakarta. Batik Maranatha juga terkenal hingga mancanegara, antara lain India, Belanda, dan Jepang.
Kemegahan batik tulis lasem terlihat dari motif dan warnanya. Langgam motif batik tulis lasem dipengaruhi simbol-simbol tradisi China, seperti naga, burung hong (phoenix), dan bunga.
Warna utama batik tulis lasem adalah biru, sogan (kecoklatan), dan merah marun yang sering disebut warna getih pitik (darah ayam). Ketiga warna membentuk kekhasan batik tulis lasem, Batik Tiga Negeri. Beberapa tahun terakhir, muncul warna hijau yang merepresentasikan Islam sebagai simbol toleransi.
Hingga 2016, terdapat 21 motif batik tulis lasem yang tercatat dalam hak atas kekayaan Intelektual. Renny mendesain sendiri motif batiknya. Ada lima motif batik Maranatha yang dipatenkan, yakni batik Dua Naga Delapan Dewa (2009), Lasem Sekar Jagad Es Teh (2007), batik Lasem Lokcan Watu Pecah (2007), Lokcan Lasem Penutup Pintu (2007), dan Lasem Sekar Jagad Latoh Alge (2007).
Renny menuturkan, pembuatan batik Maranatha sekitar tiga bulan. Umumnya, batik tulis dibuat dalam waktu satu bulan. Pewarnaan batiknya dilakukan berkali-kali sehingga warna merahnya lebih pekat. Harga batik Maranatha berkisar Rp 4 juta hingga puluhan juta rupiah.
”Jumlah pembatik di sini tidak banyak, sekitar 35 orang, karena butuh keluwesan dan ketelitian,” kata Renny di Desa Karangturi, Lasem, Minggu (11/3).
Pembatik lain, Santoso Hartono, generasi ke-3 pemilik batik tulis Lasem Pusaka Beruang, mengatakan, omzet penjualan batiknya bisa mencapai Rp 100 juta per bulan. Omzet itu meningkat pesat di masa libur Lebaran, Natal, dan Tahun Baru.
Saat ini Santoso mempekerjakan sekitar 770 pembatik yang mayoritas warga Lasem. Mereka boleh membatik di rumah dan menerima upah setelah kain batik selesai. Harga Batik Pusaka Beruang berkisar Rp 125.000-Rp 2 juta per helai tergantung motif dan warnanya.
Mengutip data Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Rembang tahun 2016, terdapat 100 rumah batik. Rinciannya, 66 rumah batik terletak di Kecamatan Lasem, 34 rumah batik terletak di Kota Tua Lasem di daerah Karangturi, Babagan, dan Gedong Mulyo. Rumah batik di Kota Tua Lasem ada sejak abad ke-19.
Terus menurun
Peneliti pecinan Nusantara dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Agni Malagina, mengatakan, industri batik tulis lasem mencapai titik tertinggi pada 1970 dengan 144 rumah batik. Saat itu, mereka mengandalkan 2.000-an pekerja untuk proses artistik dan 4.000-an pekerja untuk proses lain.
”Tantangan utama batik tulis lasem kini adalah regenerasi pembatik. Mayoritas pembatik kini sudah berusia di atas 50 tahun,” kata Agni.
Para pembatik yang dulu mengalami masa kejayaan tidak mewariskan keahlian kepada anak-anaknya. Mereka justru mendorong anaknya menempuh pendidikan ke luar Rembang atau mendapat pekerjaan yang dinilai lebih mapan.
Salah satu pembatik, Timah (50), mengatakan, ia tidak ingin anaknya menjadi pembatik karena upahnya rendah. Sistem upah pembatik berbeda-beda, tergantung kebijakan pengusaha. Ada yang dibayar harian, ada yang sistem borongan. Upah Timah Rp 30.000 per hari atau Rp 810.000 per bulan. Upah itu di bawah UMR Kabupaten Rembang yang Rp 1,4 juta per bulan. ”Kalau bisa tembus pengusaha besar, upahnya lebih besar, tetapi proses warna dan motif juga rumit,” katanya.
Akibatnya, bagi mereka, membatik masih sebatas pekerjaan, bukan upaya pelestarian budaya. Rasa cinta dan memiliki batik tulis lasem pada generasi muda tidak tumbuh.
Libatkan semua pihak
Menurut Agni Malagina, regenerasi pembatik tulis lasem harus dilakukan dari hulu ke hilir secara berkesinambungan. Upaya regenerasi melibatkan seluruh pihak, mulai dari pengusaha, pemerintah, pembatik, dan sektor swasta. Jika tidak segera dilakukan regenerasi pembatik muda, industri batik tulis lasem terancam dalam 10 tahun mendatang.
”Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten harus membuat kebijakan dan target yang jelas. Tidak hanya batik tulis lasem, tetapi juga batik tulis Nusantara. Lasem hanya representasi kecil,” kata Agni.
Ketiadaan lembaga formal, seperti sekolah kejuruan atau program studi, menyebabkan upaya pelestarian dan regenerasi pembatik terhambat. Sejauh ini belum ada sistem yang dibuat pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Mungkin apa yang dilakukan Pekalongan bisa diduplikasi. Universitas Pekalongan membuka Program Studi Batik.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Rembang Dwi Purwanto mengatakan, upaya regenerasi pembatik sedang digalakkan. Upaya itu antara lain melalui lomba membatik tulis lasem, menggelar festival, dan bekerja sama dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Rembang. Beberapa SD dan SMP sudah menerapkan ekstrakurikuler membatik. Sejumlah hasil karya siswa SMP bisa dilihat di depan Museum RA Kartini. (KRN)