Kepala Seksi III Balai Penegakan Hukum Wilayah Sumatera Dodi Kurniawan mengatakan, sejak kebakaran besar di areal itu tahun 2015, pencurian kayu tambah marak. Para cukong mengupah pembalak lokal untuk mencuri kayu lalu mengirim hasil olahan ke Kota Jambi, Palembang, dan Lampung. ”Bahkan, hingga ke Banten dan Jakarta,” ujar Dodi, Senin (12/3).
Pembalakan liar itu terorganisasi. Para pembalak bekerja sama dengan para pihak mulai dari kelompok tani sampai pemilik usaha pengolahan kayu untuk memenuhi surat keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH) kayu dan sistem informasi perizinan usaha hasil hutan (SIPUH) daring. Satu dokumen digunakan untuk beberapa kali pengangkutan. Meski petugas sering mendapati tanggal pengangkutan dalam dokumen tidak sesuai, hal itu tidak dinyatakan sebagai pelanggaran pidana, hanya kesalahan administrasi.
Lemahnya pengawasan di lapangan memudahkan kayu curian lolos sampai di tempat tujuan. ”Sekarang hampir tidak ada lagi petugas kehutanan di pos-pos jaga. Akibatnya, pembalak jadi lebih leluasa,” ujarnya, Senin (12/3).
Dari 11 kasus pembalakan liar yang tengah ditangani, kata Dodi, enam kasus di antaranya terkait dengan penyalahgunaan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK).
”Dokumennya ada, tetapi saat kami lacak balik tidak sesuai. Lokasi yang dimaksud dalam dokumen ternyata hanya lahan biasa tanpa potensi tegakan kayu,” katanya.
Sabtu lalu, aparat gabungan menangkap M (53), salah satu cukong besar kayu di kawasan itu. Ia ditangkap bersama dua pekerja, AF dan R, saat akan mengangkut 153 batang kayu olahan dari kawasan itu. AF dan R tidak ditetapkan tersangka, hanya sebagai saksi. Alasannya, mereka hanya pekerja upahan.
Menguasai hutan
Semua kayu direncanakan dijual ke salah satu bangsal kayu di Kota Jambi. Dari hasil penyelidikan, M diketahui beroperasi liar selama empat tahun terakhir. Tak hanya membalak, ia juga menguasai sejumlah areal lahan dalam hutan negara. Lahan ia perjualbelikan kepada pendatang untuk dibuka menjadi kebun sawit.
Pembalakan liar dalam kawasan itu sangat rawan. Pembalak memanfaatkan sungai dan kanal untuk mengalirkan kayu-kayu curian ke hilir. Di hilir, kayu ditampung ke tempat-tempat pengolahan.
Sepanjang tahun 2011, terdaftar 60-an usaha pengolahan kayu resmi di sekitar hutan. Meski terdaftar resmi, kebanyakan pelaku usaha mendapatkan hasil kayu secara liar. Lebih parah lagi, ditemukan belasan penggergajian kayu liar di dalam kawasan hutan negara.
M mengaku, selama ini sangat mudah membalak di kawasan hutan. Dia hanya perlu mengupah pekerja untuk mencuri dan mengolah kayu.
”Saya beri mereka upah Rp 400.000 per meter kubik untuk jenis kayu campuran,” ujarnya.
Selanjutnya, kayu dilansir (dibawa) ke luar hutan. Kayu dibeli pedagang besar dengan harga Rp 900.000 per meter kubik. Di Kota Jambi, kayu dihargai minimal Rp 1,5 juta per meter kubik. Adapun harga kayu meranti bisa tiga kali lipat. Dalam sehari, M mengaku bisa mendapatkan 8-10 meter kubik kayu.
Paling rawan
Setiap musim kemarau, kawasan Hutan Negara Lalan Mangsang Mendis seluas 240.000 hektar paling rawan mengalami kebakaran lahan di Jambi. Hamparan hutan yang berawa gambut selalu cepat kering karena banyak dibuat kanal untuk mengalirkan kayu. Air dari kanal mudah surut sehingga kandungan air di lapisan gambut pun ikut terbawa.
Dodi menambahkan, kebakaran di kawasan itu tak lepas dari maraknya pembalakan dan perambahan. Ia bahkan mendapati perizinan hutan desa disalahgunakan untuk pembukaan kebun sawit. ”Kalau kita masuk ke sana, tak tampak lagi hutan. Hanya tampak pohon-pohon sawit,” katanya.
Para pelaku pembalakan liar melanggar Pasal 83 Ayat 1 dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ancaman sanksinya 1-10 tahun penjara dan denda minimal Rp 500 juta-Rp 5 miliar.(ITA)