BANDA ACEH, KOMPAS - Jumlah kasus kekerasan terhadap di Provinsi Aceh setiap tahun meningkat sementara langkah pencegahan minim. Hal ini menandakan belum semua pemangku kepentingan di Aceh peduli terhadap isu kekerasan terhadap anak.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Aceh Aceh, Nevi Ariani, di Banda Aceh, Rabu (14/3), mengatakan, isu kekerasan terhadap anak masih kurang populer dibandingkan isu narkoba dan korupsi.
“Sayangnya, belum semua orang, tergerak hatinya untuk memikirkan persoalan ini sebagai persoalan serius,” kata Nevi.
Dinas P3A Aceh mencatat, angka kekerasan terhadap anak pada tahun 2015, terjadi 939 kasus dan meningkat menjadi 1.648 di tahun 2016. Kasus tersebut kembali naik pada 2017 menjadi 1.791 kasus. “Angka itu masih sangat sedikit, karena banyaknya korban yang enggan melapor,” ujar Nevi.
Kekerasan terhadap anak yang terjadi di Aceh yakni pelecehan seksual, pemerkosaan, sodomi, kekerasan fisik, dan penelantaran. Tiga kabupaten dengan kasus tertinggi adalah Aceh Utara, Banda Aceh, dan Aceh Besar.
Para pelaku umumnya orang terdekat seperti anggota keluarga dan tetangga. Dalam beberapa kasus bahkan pelakunya adalah orangtua korban. Baru-baru ini di Kabupaten Aceh Besar, seorang anak perempuan diperkosa oleh ayahnya sendiri.
“Biasanya kasus ini dilakukan orang terdekat, sehingga korban tabu untuk melaporkannya,” kata Nevi.
Nevi menuturkan, berharap pada pemerintah semata tidak akan mampu menghentikan kekerasan pada anak. Nevi mengajak semua pihak peduli pada isu anak. Rancangan perda/qanun tentang tata cara penyelesaian kekerasan terhadap perempuan dan anak disusun diharapkan dapat disahkan pada 2018.
Ketua Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Inyatillah mengatakan, disamping penguatan regulasi pembatasan konten pornografi, juga diperlukan gerakan sipil yang masif melawan pornografi. Selama ini edukasi tentang bahaya konten pornografi minim dilakukan.
Saat ini, lanjut Inayatillah, khususnya di Aceh, pemerintah belum mampu membendung konten pornografi di dunia digital. Penerapan syariat islam di Aceh belum menyentuh pada materi di dunia digital.
“Harapannya ada pada kementerian agar serius menghalau konten pornografi di internet,” ujar Inayatillah.
Inayatillah menambahkan pemerintah daerah perlu mengatur pembatasan penggunaan gawai bagi anak. Salah satu tempat yang bisa diterapkan kebijakan itu di sekolah. Selain itu pengawasan orangtua terhadap anak saat mengakses internet diperlukan.