Menemukan Kembali Atribut Inklusif Feminin
Saat Sumpah Pemuda dinyatakan pada 28 Oktober 1928, sejumlah organisasi perempuan ikut di dalamnya dan ikut menjadi panitia. Dua bulan kemudian, 22 Desember 1928, berlangsung Kongres Wanita pertama. Yang diperjuangkan adalah pendidikan untuk anak-anak, terutama anak perempuan, dan memberantas perkawinan anak.
Apa yang diperjuangkan tersebut meskipun terlihat sebagai kepanjangan dari stereotip peran perempuan, yaitu mendidik anak sebagai generasi penerus dan memegang peran sebagai penjaga moral bangsa, tetapi bersifat politis. Kongres menuntut agar pemerintah kolonial mengadakan sekolah dan mengeluarkan surat keterangan menikah sebagai perlindungan hukum apabila perkawinan tidak berhasil.
Dalam konteks menjadi Indonesia, perjuangan perempuan tidak membedakan kelompok berdasarkan suku dan agama. Pada sisi lain, tidak juga menyertakan perempuan dengan latar belakang Eurasia dan Tionghoa meskipun sebagian perempuan peserta kongres mendapat manfaat dari pendidikan Barat melalui Politik Etis.
Setelah deklarasi kemerdekaan, perempuan didorong untuk berjuang bersama laki-laki. Soekarno dalam bukunya, Sarinah, yang terbit November 1947, mengkritik pandangan tradisional bahwa perempuan harus tinggal di rumah, mengurus anak dan suami, serta mendukung suami dari rumah. Pikiran Soekarno tersebut tidak terlepas dari situasi internasional, terutama dunia Barat, di mana gerakan feminis semakin dinamis. Soekarno mendorong perempuan untuk ikut berperan dalam bidang ekonomi dan politik.
Meski demikian, kembali perempuan tetap diposisikan sebagai penjaga moral dan identitas bangsa. Hal ini tampak dari dorongan mengatur perilaku serta busana perempuan. Kain dan kebaya menjadi norma dan didorong sebagai busana nasional. Hal ini tidak terjadi pada laki-laki. Pakaian ala Barat, yaitu celana panjang lengkap dengan dasi dan jas, menjadi pakaian resmi.
Dominan
Sejak awal nasionalisme perempuan tentang keindonesiaan tidak satu. Meskipun sama-sama memperjuangkan penghapusan perkawinan anak, pendidikan, dan kesehatan reproduksi, tetapi ideologi yang berbeda menghasilkan versi nasionalisme yang berbeda, seperti terlihat pada perjuangan Aisyiyah dan Gerwani pada periode awal kemerdekaan.
Hal yang sama kembali terlihat dalam Pemilu Presiden 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017. Suara perempuan tidak satu meskipun sama-sama menginginkan perbaikan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik bagi perempuan, perlindungan bagi perempuan dan anak dari kekerasan, serta pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.
Situasi yang sama sebetulnya juga terjadi di lembaga perwakilan rakyat, meskipun perempuan di parlemen mencoba mengatasi perbedaan yang disebabkan oleh ideologi partai politik di mana perempuan menjadi anggota dengan cara membentuk kaukus perempuan parlemen.
Selama ratusan tahun ekonomi kapitalis bersifat maskulin. Ketika perempuan diarusutamakan ke dalam sistem yang maskulin karena sumber dayanya ada di sana, hampir semua akan mengadopsi simbol dan nilai-nilai kelompok yang mendominasi. Begitu juga saat perempuan berada di dalam kelompok atau partai politik yang memiliki sifat maskulin. Hal ini terlihat jelas setelah Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta 2017, suara perempuan pun tidak terhindarkan ikut terbelah.
Situasi ini membuka pertanyaan tentang seberapa jauh perempuan dapat bersikap secara otonom dari partai politik atau dari kelompok di mana dia bergabung dan mempertahankan sifat inklusif yang menjadi ciri feminin seperti gerakan perempuan pada awal kemerdekaan.
Nasionalisme yang cenderung mengaburkan perbedaan yang terjadi di antara kelompok-kelompok atau individu-individu masyarakat karena diikat oleh satu perasaan yang sama menjadi bangsa berdampak pada meminggirkan hak-hak individu. Perempuan dan kelompok minoritas di masyarakat nyaris tidak didengar suaranya, terlihat dari, antara lain, ditolaknya permintaan peninjauan kembali usia minimum menikah untuk perempuan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal, upaya menghapus perkawinan anak sudah dilakukan sejak tahun 1928. Demikian pula rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga perwakilan rakyat serta serangan terbuka dan kekerasan fisik terhadap kelompok LGBT yang juga dilakukan pimpinan organisasi masyarakat, pimpinan lembaga pendidikan, dan oknum aparat.
Meskipun negara secara resmi tidak membedakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, dalam praktik sehari-hari pembedaan terus terjadi. Dengan alasan melindungi perempuan, diskriminasi dan kriminalisasi justru terjadi melalui sejumlah peraturan daerah, antara lain, berupa larangan keluar rumah pada malam hari dan bepergian ke luar negeri harus dengan pendamping, yaitu pada kasus pekerja migran. Dalam pembahasan RUU KUHP saat ini, kelompok-kelompok perempuan, termasuk Komnas Perempuan, terus mempersoalkan sejumlah pasal yang mendisriminasi dan cenderung mengkriminalisasi perempuan karena, antara lain, sudut pandang umum perempuan sebagai penjaga moral masyarakat.
Personal, politis
Di tengah dominannya politik nasionalisme yang maskulin dan perempuan terseret dalam arus dominan tersebut, agar perempuan dapat memerankan sifat inklusifnya, harapan ada pada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki ciri feminin atau pada kelompok masyarakat yang sepintas seperti didominasi, tetapi memiliki kemampuan bernegosiasi pada kelompok politik dominan.
Hal ini berarti tidak lagi melihat pada jenis kelaminnya karena lelaki juga dapat bersifat inklusif dan memperjuangkan hal-hal yang dianggap bersifat domestik, seperti memperjuangkan hak cuti mengasuh anak atau ikut menolak pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan.
Pada kenyataannya, gerakan perempuan sejak awal kelahirannya pada 1928 memang tidak satu karena sumber ideologinya juga berbeda-beda. Nasionalisme saat itu menyatukan karena tujuan Indonesia merdeka. Saat ini, gerakan yang populer adalah yang menempatkan perempuan sebagai penjaga moral bangsa, pembentuk generasi penerus melalui aliansi berorientasi keluarga. Gerakan perempuan kelas menengah yang juga menyertakan laki-laki ini, jika dapat disebut sebagai bentuk nasionalisme, cenderung menentang kelompok perempuan lain yang tidak sama wacananya tentang posisi dan perjuangan perempuan. Salah satu yang menjadi termarjinalkan adalah perempuan kelas sosial-ekonomi bawah. Begitu juga gerakan yang coba menghentikan kekerasan seksual pada perempuan tidak bergema karena sumber daya asalnya, yaitu pendidikan, berasal dari tempat yang berbeda.
Meski begitu, pergerakan perempuan juga mencatat sejarah penting dengan menggunakan wacana feminin, yaitu perempuan sebagai yang mengandung, melahirkan, dan memelihara kehidupan. Alih-alih menjadikan posisi tersebut sebagai situasi domestik, Suara Ibu Peduli berhasil menjadikan stereotip peran domestik perempuan menjadi kekuatan politik. Dengan berunjuk rasa memprotes harga susu yang mahal pada 23 Februari 1998, Suara Ibu Peduli menggugat Orde Baru sebagai tidak lagi kompeten memimpin karena tidak dapat mengendalikan harga-harga sehingga menyulitkan rakyat.
Suara Ibu Peduli dapat dilihat sebagai bentuk gerakan perempuan menggunakan pendekatan yang bersifat personal adalah politis. Ketika perempuan dibentuk oleh masyarakat dan negara menjadi penjaga ranah domestik, pengalaman perempuan menjadi bersifat politis. Harga bahan makanan, tarif listrik, harga BBM, serta biaya kesehatan dan pendidikan, untuk menyebut beberapa contoh, merupakan keputusan politis yang langsung menohok ranah domestik.
Begitu juga Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) berhasil keluar dari wacana dominan ulama laki-laki ketika mengeluarkan tiga fatwa, yaitu menolak kekerasan seksual, perkawinan anak, dan eksploitasi terhadap alam.
Dalam situasi saat ini tampaknya tetap sulit menyatukan kelompok dan gerakan perempuan karena sumber daya atau kapital yang menjadi sumber juga terfragmentasi. Perempuan dapat mengubah keadaan yang mengopresi atau memarjinalkan perempuan dan kelompok marjinal lain dengan mencari isu bersama yang inklusif.