MATARAM, KOMPAS — Produksi rumput laut Provinsi Nusa Tenggara Barat cenderung meningkat dalam dua tahun terakhir, dari 1.026 juta ton basah pada 2016 naik sekitar 4 persen menjadi 1.037 juta ton basah pada 2017.
Kenaikan produksi itu karena masyarakat pesisir terpacu untuk mendapatkan penghasilan alternatif dan terbukanya peluang pasar komoditas rumput laut.
”Dari total produksi 1 juta ton basah itu dipotong untuk bibit sehingga masih tersisa sekitar 800.000 kg basah, yang menghasilkan sekitar 110 ton kering. Rumput laut yang kering itu dijual petani kepada pengusaha mitranya di Surabaya (Jawa Timur). Rumput laut itu, ada yang diekspor meski umumnya dijadikan bahan kerajinan di dalam negeri,” ujar Lalu Hamdi, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, Rabu (14/3) di Mataram, Lombok.
Menurut Hamdi, saat ini masyarakat pesisir tidak hanya terpaku dengan penghasilan sebagai nelayan yang masa melautnya tidak sepanjang tahun. Oleh sebab itu, mereka mencari penghasilan di luar aktivitas menjala ikan.
Pilihannya adalah budidaya rumput laut yang bisa dipanen setelah 45 hari masa budidaya. Saat ini harga rumput laut kering Rp 15.000 per kg.
Sementara permintaan komoditas itu relatif tinggi serta ada pengusaha dan lembaga swasta yang melakukan pendampingan.
”Kami sangat terbantu oleh kepedulian perusahaan swasta menyediakan bibit, melakukan pendampingan, dan membuka akses pemasaran rumput laut, yang berdampak pada peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat nelayan,” ujar Hamdi.
Sebelumnya, Baiq Idayani, Superintendent Media Relations and Specialist Project PT Amman Mineral Nusa Tenggara (perusahaan yang mengoperasikan Tambang Batu Hijau, Sumbawa Barat, yang menghasilkan emas dan tembaga), mengatakan, 45 petani Desa Sagena, Kecamatan Pototano, Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, melakukan panen raya rumput laut sebanyak 70 ton basah.
Dari 70 ton produk rumput laut basah di tiga lokasi sentra budidaya desa itu, hanya 15 ton rumput kering yang sudah disiapkan untuk diekspor ke China.
Budidaya rumput laut itu merupakan salah satu program pemberdayaan masyarakat oleh PT AMNT.
Perusahaan yang mengoperasikan Tambang Batu Hijau di Kabupaten Sumbawa Barat, dengan produk tembaga dan emas ini, memberi pelatihan strategi pengembangan usaha, akses informasi teknis budidaya, akses permodalan, dan akses pasar rumput laut.
Petani diberi modal usaha Rp 25 juta per satu are (100 meter persegi) untuk budidaya yang dilakukan dengan sistem keramba.
Setelah proses budidaya 45 hari, dengan sistem keramba, pada panen Kamis (8/3), bisa diperoleh panenan 7 ton basah, atau dua kali lebih besar dibandingkan sistem longline atau patok dasar. Harga jual rumput laut kering Rp 15.000 per kilogram.
”Jika dikalkulasikan dengan hasil panen 6 ton-7 ton rumput laut basah (600 kg-700 kg rumput laut kering) bisa mendapatkan penghasilan bersih Rp 6 juta-Rp 7 juta sekali panen,” ujar Idayani. Proses pendampingan melibatkan PT Coastalindo Sumber Energi, sedangkan selaku pembeli adalah eksportir PT Aditirta selaku eksportir.
Aktivitas budidaya rumput laut di desa itu bisa menyerap 200 orang-250 orang pekerja, dari tenaga tahap persiapan budidaya, pemeliharaan, panen, hingga proses pengeringan. Untuk kesinambungan usaha, diberlakukan sistem bagi hasil usaha, yakni 40 persen untuk petani, 40 persen untuk mitra, dan 20 persen untuk biaya pengembangan usaha.