Mulianya Nyepi Bersama Saraswati
Nyepi tahun ini, Sabtu (17/3), tidak sendiri. Nyepi kali ini ditemani pemujaan terhadap Dewi Saraswati yang hanya berlangsung 100 tahun sekali. Nyepi merupakan ajang meditasi diri melalui catur brata penyepian, sementara pemujaan Saraswati adalah pemuliaan terhadap kelahiran ilmu pengetahuan. Keduanya merupakan hari raya umat Hindu yang sama-sama mulia untuk membangun keharmonisan, kedamaian, serta memaknai lebih luas arti hidup sebagai manusia yang diberi pengetahuan sempurna dari Sang Pencipta.
Catur brata Nyepi yang merupakan meditasi diri umat Hindu Bali dengan amati geni (tidak menyalakan sumber cahaya), amati lelungan (tidak bepergian), amati karya (tidak beraktivitas), dan amati lelanguan (tidak mencari hiburan) selama 24 jam. Karena bersamaan pemujaan terhadap ilmu pengetahuan, umat juga memuliakan Dewi Saraswati, dengan tidak boleh menghapus aksara, melangkahi aksara, dan membakar aksara.
”Istimewa tahun ini karena hanya terjadi 100 tahun sekali. Maka, umat diimbau tetap melaksanakan kedua hari raya ini dengan pengaturan waktu. Meski keduanya penting bagi umat Hindu, pelaksanaannya tetap harus diatur agar tidak saling berbenturan,” kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali I Gusti Sudiana, di Denpasar, Kamis (15/3).
Dengan berbagai pertimbangan, pelaksanaan upacara Saraswati dapat dilaksanakan mulai pukul 00.00 Wita sampai 05.59 Wita pada Sabtu (17/3). Selanjutnya, umat tidak diperbolehkan beraktivitas. Semua harus hening, sepi, mulai pukul 06.00 Wita, waktu pergantian hari versi umat Hindu Bali hingga 24 jam kedepan.
Sebelum melaksanakan meditasi, masyarakat mengarak ogoh-ogoh berkeliling kampung masing-masing. Ini merupakan tradisi yang berkembang sejak 1980-an. Tahun sebelumnya, umat Hindu hanya berkeliling membawa obor dan membunyikan alat-alat seadanya dengan melagukan ”memedi memedi megedi uli dini delod pasih ngoyong”, intinya nyanyian mengusir para raksasa jahat untuk tidak mengganggu kekhusyukan umat. Alat-alat yang dipukul pun dibakar. Saat ini, diwakili raksasa buatan bernama ogoh-ogoh yang dianggap mewakili buta jahat, kekuatan-kekuatan jahat itu dimusnahkan pada malam pengerupukan (semalam menjelang Nyepi keesokannya) agar tidak mengganggu pelaksanaan penyepian.
Pembuatan ogoh-ogoh yang sebagai simbol buta (raksasa) ini biasanya dibuat bersama para pemuda masing-masing banjar di seluruh Bali. Jadi, ratusan sampai ribuan ogoh-ogoh se-Bali diarak bersamaan pada malam pengerupukan itu. Seru dan lumayan bisa menjadi tontonan wisata jika dikemas dengan apik oleh para pelaku pariwisata.
Bagi pemuda-pemuda banjar (setara RT di Pulau Jawa), pembuatan ogoh-ogoh menjadi ajang unjuk kreativitas. Tidak sedikit yang justru menjadi panggung perlombaan, seperti di seputaran Kota Denpasar, Gianyar, dan Badung.
Namun, perkembangan zaman menuntut tak hanya kreatif, tetapi juga inovatif dengan tetap menjaga hijaunya alam. Pembuatan ogoh-ogoh pun menggunakan rangka-rangka bambu dan rangkaian penutup kertas bekas koran ataupun kertas semen. Propaganda pengurangan menggunakan styrofoam terus didengungkan sekitar lima tahun terakhir.
Ogoh-ogoh
Anak-anak, remaja, dan beberapa orang tua silih berganti masuk ke wantilan Banjar Tainsiat, Kota Denpasar, Kamis (15/3). Ketertarikan mereka adalah ogoh-ogoh buatan Komang Gede Sentana Putra (31), warga Tainsiat, yang hampir selesai pengerjaannya.
”Ogoh-ogoh ini dibuat sekitar sebulan dan hari ini mencapai puncak penyelesaiannya. Tinggi raksasa ini sekitar 5 meter. Soal berat, ya, pasti berat, sekitar 500 kilogram. Apa uniknya? Ya, tidak tahu juga,” kata Keduk.
Keduk, salah satu pembuat ogoh-ogoh yang setia menggunakan bahan ramah lingkungan. Hanya saja persoalan pewarnaan masih menggunakan bahan kimia. Serunya, ogoh-ogoh tersebut dilengkapi dengan alat pompa hidrolik dengan daya angkat 500 kilogram menggunakan tenaga genset. Alat ini yang membantu raksasa dapat bergerak naik dan turun agar tidak menyentuh kabel-kabel listrik yang melintang di atas jalan.
Selain Nyepi bersama Saraswati, tahun ini tidak hanya Bandara Internasional Ngurah Rai, Pelabuhan Gilimanuk, dan Pelabuhan Padang Bai yang ditutup. Siaran televisi, radio, dan televisi berbayar pun dimatikan. Begitu juga dengan jaringan internet. Semuanya bertujuan memuliakan perayaan Nyepi dengan catur brata agar lebih khidmat dan bermakna untuk penguatan iman umat Hindu Bali.
Menerbitkan harapan
Lelaki berusia 23 tahun itu dengan riang mengecat patung kertas yang dibuatnya. Tangannya cekatan menyapukan cat warna biru ke tubuh ogoh-ogoh buatannya.
”Ini semacam gambaran butakala. Bentuknya saja sudah menakutkan, tetapi di dalamnya ada hal yang ternyata lebih mengerikan. Ini semacam introspeksi saya sebagai manusia,” kata Angga Setiawan (23), warga Dusun Jengglong, Desa Sukodadi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Senin (12/3).
Makanya, menurut Angga, butakala itu nantinya akan dibakar. Dengan membakar keburukan, harapannya akan terbit bermacam kebaikan.
Saat itu, Angga membuat ogoh-ogoh berbentuk semacam manusia bermuka menakutkan dan dari mulutnya keluar semburan api. ”Hal di dalam diri manusia bisa jadi sangat mengerikan lagi. Lebih mengerikan dari fisik yang kelihatan,”
katanya.
Ogoh-ogoh itu, menurut Angga, akan dibakar pada Jumat (16/3) malam, tepatnya pada malam sebelum Nyepi. ”Biasanya anak-anak muda banyak yang turut membantu membuat ogoh-ogoh ini. Namun, hari ini kayaknya sedang ada kesibukan,” kata Angga.
Membuat ogoh-ogoh, seperti yang dilakukan Angga, Senin itu, juga terlihat di beberapa sudut Desa Sukodadi. Desa Sukodadi merupakan desa di lereng timur Gunung Kawi yang dikenal dengan tingkat toleransi tinggi.
Desa Sukodadi berpenduduk 4.900-an jiwa (1.324 keluarga). Mereka tersebar di enam dusun, yaitu Dusun Jengglong, Genderan, Kebonkuto, Ampelantuk, Jamuran, dan Petungpapak. Lima dusun pertama adalah dusun dengan tingkat keberagaman tinggi karena terdiri dari warga yang menganut agama berbeda-beda, yaitu Hindu, Islam, Buddha, serta Kristen, dan Katolik. Hanya Dusun Petungpapak yang dihuni warga pemeluk Islam secara keseluruhan.
”Di sini sudah umum dalam satu rumah terdiri dari beberapa pemeluk agama. Ada suami-istri atau orangtua-anak yang beda agama. Hal itu tidak masalah dan bisa hidup harmonis sejak dahulu kala,” kata Kepala Desa Sukodadi Susilo Wahyudi.
Susilo Wahyudi sendiri adalah Muslim. Namun, keluarga istrinya, tepatnya kakek-nenek sang istri, adalah pemeluk agama Hindu. Sebagai Muslim, ia pun akan datang ke acara-acara agama lain jika diundang atau dibutuhkan kehadirannya.
”Warga di sini sepertinya punya banyak hari raya. Kalau Lebaran, Natal, Galungan, atau hari raya lainnya, semua orang akan saling mengunjungi dan bersilaturahim. Saling ater-ater atau hantaran makanan demi kebersamaan,” kata Susilo Wahyu.
Bukan sekadar perayaan hari raya. Untuk kegiatan membangun rumah ibadah pun, semua warga tanpa melihat agama akan sama-sama menyumbangkan tenaganya. ”Membangun mushala atau membuat tempat pembelajaran Al Quran dilakukan sama-sama. Membersihkan pura saat ada selamatan sungai juga bersama-sama. Mereka yang Muslim pun sama-sama datang ke pura untuk menyukseskan acara desa tersebut,” kata Sarmidi (42), kepala Dusun Jengglong. Sarmidi beragama Hindu.
Dusun Jengglong merupakan dusun dengan pemeluk agama Hindu terbanyak. Dari 108 keluarga, 98 keluarga beragama Hindu.
Di Desa Sukodadi terdapat empat masjid, enam pura, serta gedung SD dan SMP dengan gedung serbaguna yang berfungsi sebagai tempat ibadah umat Katolik. ”Di sini orangnya hidup senang dan damai,” kata Susilo Wahyudi.
Selamat Tahun Baru Saka 1940. (Ayu Sulistyowati/Dahlia Irawati)