Sistem Peringatan Dini Inisiasi Indonesia Diterima Lembaga ISO
Oleh
Ayu Sulistyowati
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS - Tim Indonesia berhasil meyakinkan lembaga International Organization for Standardization (ISO) untuk menetapkan sistem peringatan dini tanah longsor (early warning system/EWS) Indonesia sebagai standard ISO 22327.
Sistem ini merupakan pengembangan kerjasama antara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Universitas Gadjah Mada (UGM) sejak 2007 dan diinisiasi ke lembaga ISO sejak 2014.
Penyerahan persetujuan ini dilakukan di Kantor Standardisasi Australia di Sydney oleh Ketua WG3 Security and Resilience Asa Kyrk Gere kepada Kepala BNPB Willem Rampangilei.
Pengesahan itu dihadiri pula oleh Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, Deputi Badan Standardisasi Nasional (BSN) Nyoman Supriatna, Prof Faisal Fathani (UGM), Jumat (16/3).
Hal itu menjadikan Indonesia pemegang ISO pertama 22327 mengenai EWS tanah longsor.
Saat penyerahan, Kyrk Gere mengatakan kebanggaannya terhadap perjuangan Indonesia menginisiasi ISO untuk EWS tanah longsor ini.
Harapannya, pengembangan ISO ini dapat bermanfaat bagi dunia untuk lebih peduli terhadap ancaman bencana tanah longsor.
Kepala BNPB Willem Rampangilei menjelaskan ketika dihubungi di Sydney, sertifikasi ISO ini membuktikan kontribusi Indonesia terhadap dunia melalui berbagi pengetahuan dan pengalaman untuk menyelamatkan masyarakat dari ancaman tanah longsor.
“Sistem ini tidak hanya sebagai alat yang berdiri sendiri, melainkan melibatkan komunitas di daerah ancaman longsor. Masyarakat tersebut menjadi bagian sistem yang penting untuk meyakinkan sistem atau alat tersebut bekerja dengan baik dan efektif,” katanya, usai penyerahan Jumat siang waktu Sydney.
Ia menambahkan sistem peringatan dini longsor ini menjadi kebanggaan anak bangsa. Karenanya ini menguatkan posisi Indonesia sebagai laboratorium bencana dunia dan diharapkan berdampak positif dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan bagi Indonesia.
Tim Indonesia yang merancang inisiasi sejak awal mulai tahun 2014 dalam pengajuan standardisasi EWS tanah longsor ini adalah Dwikorita Karnawati (Kepala BMKG), Nyoman Supriatna (Deputi BSN), Lilik Kurniawan (Direktur BNPB), Faisal Fathani (UGM), Wahyu Wilopo (UGM), M Robio Amri (BNPB), Tom Abbel (BSN), dan Pratomo Cahyo Nugroho (BNPB).
Sistem Peringatan Dini Longsor (Landslide Early Warning System/LEWS) Berbasis Masyarakat terdiri dari 7 subsistem yang dikembangkan dari konsep peringatan dini berbasis masyarakat milik badan PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNISDR).
Subsistem tersebut adalah (1) penilaian risiko, (2) sosialisasi, (3) pembentukan tim siaga bencana, (4) pembuatan panduan operasional evakuasi, (5) penyusunan prosedur tetap, (6) pemantauan, peringatan dini, gladi evakuasi, dan (7) membangun komitmen otoritas lokal dan masyarakat dalam pengoperasian dan pemeliharaan keseluruhan EWS tanah longsor.
Pada awal mula LEWS ini telah diuji coba di lebih dari 150 lokasi di Indonesia. Kemudian sistem ini dikembangkan untuk mendapatkan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan akhirnya ditetapkan pada tahun 2017.
Bersamaan dengan proses penyusunan SNI tanah longsor tersebut, pada tahun 2014 Indonesia juga mengajukan usulan untuk penyusunan Standar Internasional melalui ISO.
Usulan tersebut disetujui dan masuk dalam komite ISO/TC 292: Security and Resilience pada Working Group 3: Emergency Management, sebelum akhirnya mendapatkan ISO 22327.
LEWS ini pada akhirnya diharapkan dapat berkontribusi signifikan dalam konteks bahaya longsor di Indonesia. Lebih dari 40 juta masyarakat di 274 kabupaten/kota terpapar bahaya longsor.
Longsor sendiri merupakan bencana paling mematikan di Indonesia. Alat EWS ini sudah diujikan di 150 kota atau kabupaten di Indonesia termasuk Bali.