Sepinya Bali saat Nyepi
Hari itu, umat Hindu di Bali melakukan upacara Bhuta Yadnya, yaitu pengurbanan dengan memotong binatang peliharaan untuk sang Bhuta Kala. Persembahan ini dilakukan saat matahari berada di atas kepala, dilengkapi sesaji. Upacara ini untuk mengusir hal-hal negatif yang disimbolkan sosok Bhuta Kala agar kembali pada keseimbangan.
Esok harinya, Selasa (15/3) umat Hindu di seluruh dunia memasuki Tahun Baru Saka 1905 (Kompas, Rabu, 16 Maret 1983, hlm 1).
Hari libur yang sepi
Pelaksanaan Nyepi dimulai sehari penuh, mulai dari sebelum matahari terbit sampai esok harinya. Selama itu, umat Hindu melaksanakan empat pantangan (brata), yaitu amati geni, amati karya, amati lelungaan, dan amati lelanguan. Mereka tidak menyalakan api atau lampu, tidak melakukan pekerjaan, tidak bepergian, dan tidak mengadakan hiburan atau keributan (Kompas, Jumat, 14 Mei 1976, hlm 6).
Suasana di Bali menjadi hening dan sepi. Tidak ada aktivitas apa pun. Malam harinya akan gelap gulita. Bali yang sehari-hari disibukkan dengan aktivitas pariwisata akan terasa seperti kota mati saat Nyepi. Hanya ada pecalang yang berpatroli mengawasi pelaksanaan kegiatan Nyepi sekaligus keamanan lingkungan.
Di hotel Kuta Beach, banyak tamu menghabiskan harinya dengan duduk-duduk atau berenang di kolam. Harley, seorang turis asal Australia, merasa tercekam dan menikmati suasana sepi yang baru pertama kali dialaminya. Demikian juga Donald Ton, turis asal Amerika Serikat, sangat terkesan dan kagum bahwa di Bali ada hari raya yang begitu tertib. ”Rasanya tak mungkin terjadi,” katanya.
Hari raya Nyepi bagi umat Hindu dan Waisak bagi umat Buddha ditetapkan sebagai hari libur Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 3 Tahun 1983, tanggal 19 Januari 1983. Dengan adanya kepres tersebut, hari libur Nyepi dan Waisak diperlakukan sama dengan hari libur keagamaan lainnya.