SEMARANG, KOMPAS — Kepolisian Daerah Jawa Tengah dan Kepolisian Resor Pemalang mengungkap kasus order fiktif yang melibatkan tujuh pengemudi angkutan daring dan satu pembuat aplikasi ilegal. Modus ”pengemudi fiktif” ini meluas ke daerah-daerah pinggiran kota seiring meningkatnya kebutuhan angkutan daring.
Ketujuh tersangka dari kalangan sopir yakni BR (45), AS (21), JH (37), IF (20), HW (22), IA (21), dan KM (31). Mereka mantan pengemudi operator angkutan daring Grab yang melakukan order fiktif di Kabupaten Pemalang. Adapun TN (19) yang ditangkap di Kota Semarang, Jawa Tengah, merupakan pembuat aplikasi untuk mengelabui sistem perhitungan insentif sopir Grab.
Kepala Subdirektorat II/ Ekonomi Khusus Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Jateng Ajun Komisaris Besar Teddy Fanani mengatakan, aplikasi buatan TN itu bisa menempatkan pengemudi Grab di titik fiktif atau merekayasa lokasi palsu. Selain itu, dibuat pula aplikasi yang membuat seolah ada yang memesan.
”Dari transaksi itu, pengemudi mendapat satu poin dari Grab. Setiap 14 poin, Grab memberikan insentif Rp 350.000.
Singkatnya, dengan aplikasi itu, pengemudi bisa mendapat bonus dengan diam di kamar saja,” ujar Teddy di sela-sela pengungkapan kasus pengaksesan ilegal aplikasi Grab di Kota Semarang, Senin (19/3).
Di Pemalang, terungkap komplotan itu menggunakan sarana 53 telepon seluler dengan aplikasi Driver Grab yang per hari menerima minimal delapan perjalanan (trip) hasil order fiktif. Jika diakumulasi, insentif yang harus dibayarkan Grab kepada komplotan itu sedikitnya Rp 4,2 juta per hari.
Teddy menambahkan, dari laporan Grab, perkiraan kerugian enam bulan terakhir di wilayah Jateng sekitar Rp 6 miliar. ”Modus seperti ini mungkin banyak terjadi. Kami terus mengembangkan untuk mengungkap ’pengemudi hantu’ atau pengoprek (pembuat aplikasi ilegal) lainnya,” katanya.
Disita 213 ponsel
Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Pemalang Ajun Komisaris Akhwan Nadzirin, dalam bertransaksi, para ”pengemudi fiktif” juga berperan sebagai konsumen. Selain 53 ponsel dengan aplikasi Grab, mereka pun menggunakan 79 ponsel untuk menyamar sebagai penumpang. Dari kedelapan tersangka, polisi menyita 213 ponsel sebagai barang bukti.
Kepala Regional Jateng dan DIY Grab Indonesia Ronald Sipahutar mengemukakan, para pelaku merupakan pengemudi atau mitra Grab yang terdaftar. Dengan sistem yang mereka miliki, terdeteksi bahwa sejumlah pengemudi tersebut melakukan tindakan kriminal sehingga dilaporkan ke kepolisian.
Ronald menambahkan, para mitra yang memesan secara fiktif sebenarnya sedikit. ”Namun, aksi mereka meresahkan mitra-mitra yang jujur. Selain itu, dampak lain dari praktik tersebut yakni para penumpang yang benar-benar memesan jadi menunggu lama. Karena itu, kami laporkan,” ujarnya.
Menurut Ronald, sebelumnya Grab juga bekerja sama dengan instansi kepolisian seperti Polda Sulawesi Selatan, Polda Metropolitan Jakarta Raya, Polda Sumatera Utara, dan Polda Jawa Timur. Meski demikian, baru di Jateng ada pengungkapan komplotan pengoprek atau pembuat aplikasi yang memungkinkan pengemudi melakukan order fiktif. (DIT)