CILEGON, KOMPAS - Peningkatan indeks kualitas udara di Indonesia membutuhkan investasi besar sehingga berbagai pemangku kepentingan harus berperan serta secara aktif. Jika tidak, indeks itu sulit ditingkatkan karena menyangkut kebiasaan masyarakat sehari-hari.
Demikian dikatakan Kepala Subdirektorat Pemantauan Kualitas Udara Ambien dan Pengendalian Sumber Pencemar Noninstitusi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Djurit T Prakoso seusai Sosialisasi Kebijakan dan Pengembangan Sistem Pemantauan Kualitas Udara di Cilegon, Banten, Rabu (21/3).
Pemerintah menetapkan target pada rencana pembangunan jangka menengah nasional untuk menaikkan indeks kualitas udara dari 80 pada tahun 2014 menjadi 84 pada tahun 2019. “Sekarang, angka itu hampir 83. Targetnya, indeks itu membaik. Tapi, menaikkan satu poin saja, sulitnya minta ampun,” ujarnya.
Djurit mengatakan, di Jakarta misalnya, sumber pencemaran udara adalah polusi dari kendaraan bermotor dengan kontribusi emisi gas buang mencapai 80 persen. “Mungkin lebih dari itu. Kesulitannya, bagaimana mengatur kendaraan bermotor pribadi. Pengguna sarana transportasi itu sangat banyak,” ucapnya.
Pemerintah terus berupaya agar masyarakat mau berjalan kaki, naik sepeda, atau menggunakan kendaraan umum. Maka, transportasi massal amat dibutuhkan. “Bisa dibayangkan, untuk menaikkan indeks kualitas udara butuh triliunan rupiah,” katanya.
Bila jumlah transportasi umum memadai, pemilik kendaraan bermotor pun berminat menggunakannya. Proyek-proyek bernilai besar di Jakarta menjadi contoh nyata bahwa langkah untuk mengurangi emisi gas buang memerlukan upaya besar berbagai pihak.
“Secara ekonomi, investasinya memang besar tapi untuk jangka panjang, upaya itu bisa mengurangi pencemaran udara,” katanya. Menurut Djurit, dibutuhkan intervensi pihak-pihak terkait agar target peningkatan indeks kualitas udara bisa terwujud.
“Harus dilihat secara nasional. Target bisa dicapai tapi butuh usaha disertai instrumen kebijakan. Sekarang, indeks itu sebenarnya sudah cukup baik,” kata Djurit. Angka yang buruk, yakni 50 atau kurang. Langkah lain yang dianggap menunjukkan hasil, yakni penanggulangan kebakaran hutan.
“Pada tahun 2017, ada titik api tapi jumlahnya kecil. Fenomena itu bisa meningkatkan indeks kualitas udara,” katanya. Djurit mengatakan, pemerintah juga telah memasang alat monitor kualitas udara secara otomatis di berbagai provinsi.
Menurut Pelaksana Tugas Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Kota Cilegon M Teddy, pihaknya sudah melakukan kajian mengenai kualitas udara di Cilegon. Kualitas itu dianggap cukup baik, bahkan di kawasan industri.
Meski demikian Pemerintah Kota Cilegon tetap menaruh perhatian terhadap kualitas udara dengan memasang alat pemantau. “Pada tahun ini, kami berencana memasang tiga alat pemantau kualitas udara. Sebanyak dua alat tersebut sudah dipasang,” katanya.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.