JAYAPURA, KOMPAS — Kelompok Kerja Papua mengembangkan penguatan ekonomi bagi suku-suku asli di Papua. Kini, lebih dari 300 suku asli setempat tinggal dalam wilayah yang berlimpah sumber daya alam, tetapi penghidupannya terabaikan.
Kepala Perwakilan Kelompok Kerja Papua Habel Sawaki mengatakan, afirmasi ekonomi dibangun sejak setahun terakhir. Program itu bertumpu pada tiga sektor, yakni menghidupkan kembali kopi dari hulu hingga hilir, mempermudah distribusi hasil panen, serta memastikan harga kebutuhan pokok yang terjangkau. ”Penguatan itu menjangkau para petani, pelaku usaha, dan warga di pedalaman,” kata Habel, Selasa (20/3).
Di sektor kopi, pendampingan dilakukan bagi petani di dua sentra besar wilayah adat, yaitu Meepago dan Lapago. Hamparan pegunungan itu telah ditanami kopi arabika (Coffea arabica) sejak setengah abad lalu, tetapi terbengkalai selama 20 tahun terakhir.
Petani kini diajari merawat kembali tanaman kopi serta dilatih memproses hasil panen, mulai dari buah merah hingga biji kopi. Kemudian, dibantu kemudahan distribusi kopi hingga keluar daerah. Bantuan itu melibatkan pemerintah daerah, BUMN, dan lembaga Sustainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI).
Guna meningkatkan serapan kopi asli Papua, ditumbuhkan gerakan bersama #banggamenyeduhKOPIPAPUA. Gerakan ini mendorong seluruh instansi di daerah itu menyeduh kopi khas setempat. ”Tujuannya membangkitkan kembali industri kopi Papua serta membuka sumber pencarian warga,” ujarnya.
Adapun kopi unggulan berasal dari Lembah Baliem di wilayah adat Lapago dengan nama kopi arabika wamena, serta Lembah Kamu di wilayah adat Meepago dengan kopi arabika maonemani. Melalui sinergi dengan BUMN, pembinaan afirmasi itu didukung gerakan menanam 1 juta pohon kopi dalam lima tahun.
Kelompok Kerja Papua juga mengajak kaum muda untuk bergerak di sektor logistik. Jika pelaku usaha itu menyebar ke berbagai daerah, distribusi hasil pengolahan kopi bakal makin mudah dan murah.
Penguatan suku asli juga diupayakan dengan membangun Tongmaju Mart, yakni gerai-gerai penjualan bahan kebutuhan
pokok. Dalam praktiknya, pelaku usaha warung atau toko bahan makanan diberi akses pasokan bahan lebih murah sehingga dapat mengedarkannya dengan harga murah bagi masyarakat.
Papua memiliki lebih dari 300 suku asli. Namun, keberadaan mereka selama ini cenderung terabaikan, khususnya di bidang ekonomi. Taraf perekonomian masyarakat suku Papua, khususnya di pedalaman, lebih rendah daripada pendatang.
Pembinaan petani
Direktur Eksekutif SCOPI Veronika Herlina belum lama ini mengatakan, pembinaan menjadi hal penting dalam pengembangan petani. Dalam setahun terakhir, SCOPI telah menggarap sejumlah daerah di Papua untuk membantu petani bercocok tanam dan mengolah hasil panen dengan baik. SCOPI menyiapkan modul belajar bagi petani kopi dengan lebih spesifik agar mereka lebih mudah memahami cara bercocok tanam dan mengolah kopi dengan baik.
”Anggota kami bergilir melakukan pembinaan. Selama ini kami fokus di tempat tertentu dulu, di antaranya Wamema, Puncak Jaya, Dogiai,” katanya.
Pembinaan intensif juga dilakukan oleh pelaku hilir. Glorio Ledang (27), pemilik Kafe Otentik di Jayapura, mengatakan, untuk menjaga kualitas dan kuantitas kopi Papua, petani harus dirangkul. Mereka yang masih belum merawat kebun kopi diajak memelihara kopi dengan saksama. Dengan demikian, kualitas dan kuantitas akan meningkat.
Kini, produksi kopi Papua masih minim, sedangkan permintaan banyak. Kekurangan bahan baku di hilir dirasakan pemilik kedai kopi, seperti Glorio. Ia pun mengusahakan perkebunan kopi baru di Wamena guna memenuhi kebutuhan itu. Ia juga mengajari petani di Pegunungan Bintang untuk memproses kopi secara baik agar cita rasa tetap terjaga. (ITA/NIT)