LAMONGAN, KOMPAS — Petani garam Sedayulawas, Brondong, Lamongan, mengembangkan inovasi rumah prisma untuk produksi garam. Dengan rumah prisma, petani dapat memanen garam meski musim hujan. Di bawah kolam produksi, petani menaruh sekam untuk meningkatkan produktivitas.
Selama ini, hujan menjadi momok petani garam. Penuaan air laut menjadi garam mustahil dilakukan dengan cara konvensional, yakni lewat penguapan.
Arifin Jami’an, petani garam Sedayulawas, pun tergerak membuat terobosan sederhana. ”Jika tambak garam kena hujan, hancur air tuanya. Saya berpikir bagaimana agar air tua tidak rusak oleh hujan. Solusinya, memberi perlindungan dari plastik geomembran berbentuk rumah prisma,” ujar Arifin, Rabu (21/3).
Untuk meningkatkan produktivitas, Arifin menaruh sekam yang berkarakter menyimpan panas. Dengan demikian, penguapan untuk menghasilkan kristal garam berjalan lebih cepat.
Arifin memulai usaha itu pada 2014 dengan membuat satu rumah prisma berukuran 10 meter x 10 meter. Memakai tiga bambu yang didirikan sebagai tiang penyangga lalu ditutupi dengan plastik geomembran. Plastik itu menghalangi air hujan masuk tambak. Dasar tambak diberi sekam agar butiran garam bersih tidak bercampur tanah.
Awalnya, tinggi atap rumah prisma 5 meter. Karena timbul uap air yang bisa merusak air laut tua, Arifin mengubah tinggi atap jadi 3,5 meter dan mengurangi ukuran tambak menjadi 7 meter x 7 meter.
Garam bersih membuat harga jual melonjak Rp 2.750 per kg. Pada 2016, harga garam Arifin Rp 400 per kg. Karena itu, metode rumah prisma dilirik banyak daerah. Banyak instansi dari luar Lamongan dan luar Jawa Timur datang belajar kepada Arifin.
Secara terpisah, Direktur Utama PT Garam (Persero) Budi Sasongko mengatakan, tahun ini target produksi garam 350.000 ton dari 5.000 hektar tambak.
”Untuk mendukung kebutuhan industri, kami sedang membangun dua pabrik lagi,” ujar Budi. Satu pabrik dibangun di Segoromadu, Gresik. Satu pabrik lain dibangun di Camplong, Sampang. (BAH/BRO)