PALEMBANG, KOMPAS — Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menerapkan teknologi aspal dicampur karet alam cair (lateks) dan serbuk karet pada pembangunan jalan di dua daerah di Sumatera Selatan sepanjang 8,33 kilometer pada Juni 2018. Teknologi ini diharapkan dapat meningkatkan penyerapan karet di Sumatera Selatan dan berdampak pada perbaikan harga karet di tingkat petani.
Program yang menggunakan APBN 2018 ini diterapkan pada jalan nasional ruas Muara Beliti-Batas Kabupaten Musi Rawas, Batas Kabupaten Musi Rawas-Tebing Tinggi, Tebing Tinggi-Jembatan Kikim Besar, Jembatan Kikim Besar-Batas Kota Lahat. ”Saat ini progres pelaksanaannya sudah tahap lelang dan diperkirakan mulai dijalankan dua bulan setelahnya. Dalam pelaksanaannya akan digunakan 5.365 ton aspal dengan kebutuhan karet cair sekitar 21,7 ton,” tutur Kepala Subdirektorat Standar dan Pedoman Direktorat Preservasi Ditjen Bina Marga Erwanto Wahyuwidayat, Rabu (21/3), di Palembang.
Penggunaan aspal secara nasional sebesar 1,6 juta ton. Dari jumlah itu, hanya 600.000 ton yang diproduksi di Indonesia, sisanya diimpor dari sejumlah negara. Dengan teknologi aspal karet, menurut Erwanto, diharapkan ketergantungan terhadap aspal impor dapat dikurangi.
Di sisi lain. pelaksanaan teknologi ini diharapkan dapat memanfaatkan kelebihan stok karet alam di Indonesia, terutama di Sumatera Selatan.
Penerapan aspal karet sudah dilakukan di Lido, Bogor, dan di Karawang, Jawa Barat, pada 2017. Berdasarkan hasil tes laboratorium, penggunaan aspal karet memang agak lebih baik dibandingkan aspal biasa. Namun, fakta ini harus didukung dengan pembuktian di lapangan. Itu sebabnya dilakukan pembangunan jalan menggunakan aspal karet di beberapa wilayah. ”Dibutuhkan waktu sekitar 2 tahun untuk mengetahui keunggulan dan kekurangan dari teknologi ini,” ujar Erwanto. Pada 2017, penggunaan karet pada aspal hanya 2.400 ton, jauh dari produksi karet nasional yang 3,1 juta ton.
Peneliti aspal karet dari Pusat Penelitian Karet, Henry Prastanto, menuturkan, pengolahan aspal karet ini melewati sejumlah tahap, yakni dari lateks kebun diolah menjadi lateks pekat, selanjutnya diubah menjadi lateks pravulkanisasi. ”Lateks pravulkanisasi inilah yang dapat dicampur dengan aspal dengan komposisi 5 persen-7 persen,” ucapnya.
Berdasarkan hasil pemantauan dari uji terap di Karawang dan Lido terbukti aspal karet lebih unggul dibandingkan aspal biasa. Memang dari segi harga lebih mahal dari aspal biasa. Namun, dari segi ketahanan, aspal karet 1,5-2 kali lebih lama dibandingkan aspal biasa.
Namun, lanjut Henry, dibutuhkan pendampingan dan usaha untuk mengubah budaya petani karena selama ini mereka tidak terbiasa menciptakan lateks. ”Namun, saya yakin hal ini bisa dilakukan,” ujarnya.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Sumsel Rudi Arpian menuturkan, sejak empat tahun lalu harga karet di tingkat petani menurun. Hal ini disebabkan adanya produsen karet baru, seperti Laos, Vietnam, dan Kamboja, yang membuat persaingan harga kian ketat. Dengan cara ini, penyerapan karet di dalam negeri diharapkan meningkat. (RAM)