Pek Bung, Seni untuk Guyub dan Rukun
Malam kian larut. Suara musik makin terdengar meriah. Berganti-ganti vokalis laki-laki dan perempuan mendendangkan lagu. Bukan ”Havana”-nya Camelia Cabello atau ”Say Something”-nya Justin Timberlake, bukan pula ”Jaran Goyang”-nya Via Vallen.
Alunan musik bambu, kendang klenthing, berpadu dengan kibor mengiringi suara Margono (81) menyanyi ”Bengawan Solo”.
”Kami rutin latihan setiap Selasa mulai pukul 20.00 sampai nanti tengah malam di rumah ini,” kata Syawal (61), pemilik rumah, anggota Paguyuban Pek Bung Tri Manunggal Sari, Kamis (15/3), di Dusun Gedongsari, Desa Wijirejo, Kecamatan Pandak, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kesenian pek bung merupakan budaya asli masyarakat Jawa yang berkembang di Bantul dan Kulon Progo. Pemusik menggunakan peralatan tradisional dengan perpaduan klenting sebagai bas dan kendang, bambu bumbung sebagai bas atau gong, seruling untuk melodi, kentongan, serta besi berbentuk garpu tala.
Ketua Paguyuban Tri Manunggal Sari, Agus Wijanarka, mengatakan, alat musik asli pada awalnya adalah bas bambu, kentongan, klenting sebagai kendang, besi bengkok (garpu tala), marakas (dari cumplung atau batok kelapa), seruling, dan kodok ngorek (sebilah bambu yg digergaji, dikorek dengan uang logam). ”Sekarang ditambah dengan alat musik lain, seperti gambang dari bambu, angklung, dan kibor. Kami menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar tetap eksis,” ujar Agus.
Di Desa Wijirejo, paling tidak ada tiga kelompok kesenian pek bung, salah satunya kelompok yang dipimpin Agus. Sementara di Kulon Progo, ada grup Pek Bung Gema Putra di Desa Sidorejo, Kecamatan Lendah. Menurut penelitian Sripurwanti, mahasiswa Institut Seni Indonesia Yogyakarta, kata pek bung dalam kesenian itu berasal dari kata pek yang merupakan hasil bunyi dari suara kendang dan kata bung yang berasal dari hasil bunyi klenting yang bagian atasnya ditutup dengan bekas ban atau kulit (lulang).
Lagu yang dinyanyikan dalam kesenian ini adalah lagu tongkat, lintang gumebyar, jamuran, lumbung desa, ronda, tari sahara, padang bulan, gotong royong, dan candrane adikku yang diiringi dengan tarian yang mencerminkan kehidupan sehari-hari. Dari penelitian Sripurwanti, kesenian pek bung tersebut mempunyai fungsi upacara adat, sosial, dan hiburan.
Fungsi hiburan yaitu untuk memenuhi kebutuhan akan kepuasan batin sebagai tontonan yang menghibur dan memberikan perasaan tenang serta tenteram. Fungsi sosialnya sebagai wadah untuk memperkuat kerukunan warga dan menumbuhkan sikap gotong royong.
Agak berbeda
Pek bung di Bantul agak berbeda. Asal bunyi pek bisa berasal dari suara bambu dan suara karet ban yang dipasang di atas tembikar yang mengeluarkan suara bung. Hal ini perkuat oleh penelitian Sulikah, mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang meneliti Paguyuban Tri Manunggal Sari (2016).
Dari pengamatan ketika kelompok pek bung itu berlatih di rumah Syawal, suara bung itu kini berasal dari ketukan pada karet yang menutup tembikar klenting. Pada awalnya, suara bas (gong) itu dihasilkan dari tiupan bambu besar dengan diameter sekitar 10 sentimeter dan panjang 150 sentimeter.
Bentuk bas bambu itu mengingatkan pada meriam bambu yang populer di kalangan masyarakat sampai 1980-an. Di kampung dan desa-desa di DIY, meriam bambu itu dikenal dengan nama long bumbung. Umumnya, long bumbung ini disulut saat bulan Ramadhan pada sore hari sambil menanti buka puasa. Suara yang dihasilkan cukup menggelegar, terutama jika disulut dengan menggunakan karbit, bukan minyak tanah.
Mujiyono, anggota paguyuban yang ikut berlatih, meminta Syawal mendemonstrasikan suara yang dihasilkan bas bambu. ”Peniup bambunya ini harus dibersihkan dulu karena banyak semutnya. Maklum, sudah lama tidak dipakai,” kata Syawal sambil bersiap meniup.
Sebentar kemudian terdengar suara bung... bung dari bambu yang dicat warna-warni itu. Ternyata, untuk meniup bas bambu itu dibutuhkan tenaga yang besar. ”Yang meniup bas bambu ini harus orang muda, kalau lansia seperti kami ini tidak akan kuat terus-menerus dalam satu pertunjukan,” kata Mujiyono.
Dengan alasan tersebut, akhirnya bas bambu digantikan dengan suara bas dari klenting yang lebih mudah dimainkan. Bas bambu itu terakhir dipakai ketika kelompok tersebut diminta bermain di rumah dinas Bupati Sleman tahun lalu.
Ansambel
Dalam ingatan Syawal, pek bung di desanya bermula sekitar tahun 1957. ”Dulu bapak saya yang memulai, saya sekarang hanya meneruskan saja. Kini jumlah anggota pek bung 20 orang, mereka rutin latihan di rumah,” kata Syawal.
Margono, walaupun sudah berusia kepala delapan, malam itu masih tetap bersemangat sebagai vokalis. ”Kalau saya ikut pek bung supaya tidak tidur melulu di rumah, lebih baik ikut kumpulan seperti ini. Kami kumpul supaya guyub dan rukun. Ada kumpulan yang guyub, kelihatannya bersama-sama, tetapi tidak rukun alias sering bertengkar, melalui pek bung ini kami ingin satu paket, guyub dan rukun,” ujarnya.
Paguyuban itu sudah sering menerima job alias pentas di sejumlah tempat.
Menurut Sulikah, kostum yang digunakan kesenian Pek Bung Tri Manunggal Sari yaitu baju lurik khas Jawa untuk pemain musik dan baju surjan untuk penyanyi laki-laki, dilengkapi dengan celana panjang berwarna hitam yang dibalut dengan jarik sampai paha bagi pemain musik, untuk penyanyi laki-laki dibalut jarik sampai bawah lutut. Pada bagian kepala setiap pemain musik dan penyanyi laki-laki memakai belangkon yang menggunakan sliwir panjang di belakang. Sedangkan kostum penyanyi perempuan kebaya dan jarik.
Agus menuturkan, sejalan dengan perkembangan musik dan peminat seni era sekarang serta menambah kreasi pada musik pek bung, muncul gagasan untuk memainkan seni musik pek bung ansambel.
”Pek bung ansambel merupakan bentuk kreasi alat musik pek bung tradisional digabungkan dengan alat musik lain yang serasi, bahkan dengan alat musik modern. Pek bung yang selama ini menggunakan klenting sebagai bas, bambu bumbung sebagai bas atau gong, seruling untuk melodi, kentongan, besi berbentuk garpu tala serta marakas dipadukan dengan kibor, gitar, ketipung, dan jenis musik modern lain,” kata Agus. Dia yakin pek bung yang selama ini didominasi pemain yang sudah sepuh, melalui desain pek bung ansambel yang dimainkan kalangan muda akan bisa diterima masyarakat yang lebih luas.