LAMONGAN, KOMPAS - Komunitas Pelestari Sejarah dan Budaya se-Jawa Timur, Minggu (25/3) membacakann deklarasi bersama di Pendopo Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lamongan. Komunitas siap melestarikan warisan budaya dan berkomitmen membangun sinergitas antara pemerintah dan masyarakat dalam pelestarian cagar budaya.
Deklarasi itu dinyatakan usai seminar dan lokakarya Menggalang Peran Komunitas dalam Pelestarian Sejarah dan Budaya yang berlangsung sejak Sabtu (24/3). Penggagas acara Supriyo menyebutkan komunitas yang ikut serta berasal dari berbagai daerah di Jatim seperti Lamongan, Gresik, Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya, Tuban, Bojonegoro, Nganjuk, Magetan, Trenggalek, Ponorogo, Kediri, Situbondo, Lumajang, Probolinggo, Tulungagung, dan Malang.
Selain seminar dan lokakarya, peserta dari berbagai daerah dan pelajar juga bisa melihat pameran, benda peninggalan bersejarah, dokumentasi penggalian dan penemuan situs bersejarah hingga pameran benda pusaka seperti keris dan tombak. Lonceng berusia ratusan tahun, reruntuhan candi dari situs yang digali hingga koin kuno.
Kris Adji AW dari Masyarakat Pecinta Sejarah dan Budaya Gresik (Mata Seger) menuturkan kegiatan seperti itu perlu didokumentasikan dan dibukukuan. Ia mencontohkan di Gresik telah lahir bebeberapa komunitas yang berisi anak-anak muda bahkan telah melahirkan buku diantaranya Sang Gresik Bercerita dan Gresik Mutiara Jawa.
Bahkan anak-anak muda di Benjeng telah membuat buku novel dan film berlatar sejarah Perang Kemerdekaan di Gresik berjudul Biarkan Aku Bersamamu Sahari Saja. Berkat kepedulian bersama dari beragam komunitas, Kampung Kemasan dan rumah Gajahmungkur kini menjadi kawasan heritage atau Gresik Djaloe (Djaman Doeloe). “Benteng Lodewijk di Mengare, telah menjelma menjadi destinasi wisata cagar budaya,” kata Kris.
Sementara Restu Respati dari Malang menilai kegiatan seperti ini patut diapreasiasi karena membuktikan bahwa generasi muda menyukai sejarah. Kini tinggal bagaimana mengemas dan membuat sinergitas saja antara komunitas dan pemerintah agar makin banyak yang peduli sejarah. Diantara komunitas yang unik Scout Rider Indonesia yang memadukan hobi tur dan menjelajah dengan menelusuri situs-situs bersejarah.
Di sela-sela acara juga ada pengenalan aksara Jawa Kuno kepada peserta terutama siswa. Aang Pambudi Nugroho dari Komunitas Jawa Kuno Sutasoma Kediri, menilai ini kesempatan mengenalkan aksara Jawa Kuno kepada generasi muda. “Tidak luculah, kalau nanti justru kita belajar aksara Jawa Kuno ke negara lain, semisal Belanda,” tuturnya.
Menurut dia aksara Jawa Kuno punya 33 huruf (ka kha ga gha nga ca cha ja jha nya ta tha da dha nha Ta tha da dha na pa pha ba bha ma ya ra la wa sya sha sa ha) dan bentuk hurufnya lebih sederhana dibandingkan dengan aksara Jawa modern yang berjumlah 20 huruf (ha na ca raka da ta sa wa la pa dha ja ya nya ma ga ba tha nga).
Penulisan aksara Jawa Kuno contohnya terungkap lewat prasasti yang berisi aturan sosial dalam batu prasasti Sima (Perdikan) di masa pemerintah Raja Airlangga (1019-043 Masehi). Prasasti Sima tersebar di Sidoarjo, Surabaya, Tuban, Mojokerto dan sebagian besar di wilayah Lamongan ada 14 prasasti.
Prasasti itu ada yang ditulis dalam bahasa langsung atau sanepan (bahasa simbolis atau kiasan). “Itu yang kadang menimbulkan multi tafsir karena kata per kata kadang harus disesuaikan dengan dialek setempat,” ujar Aang.