MAGELANG, KOMPAS — Masyarakat Indonesia perlu membangun setiap agama sebagai agama yang moderat. Dengan cara inilah, keberagaman dan kebinekaan di Indonesia dapat terus terjaga.
”Semua agama pada dasarnya mengajarkan kerukunan, keselamatan, dan kehidupan harmonis satu sama lain. Semua itu bisa tercapai jika kita mau menggerakkan moderasi agama,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nur Syam dalam acara Ruwat Bumi sekaligus peresmian purna pugar bangunan Tempat Ibadat Tri Dharma Liong Hok Bio, Kota Magelang, Jawa Tengah, Minggu (25/3).
Dengan semangat menggerakkan moderasi agama, Nur Syam meyakini bahwa ke depan tidak ada lagi gerakan atau paham ekstremisme yang memaksakan kehendak atau paham agama tertentu. Apalagi tak ada satu pun agama yang mengajarkan gerakan semacam itu. ”Agama mana pun sama sekali tidak mengajarkan kita untuk memaksakan kehendak terhadap orang lain,” ujarnya.
Agama yang bebas, tanpa pemaksaan, lanjut Nur Syam, juga mengajarkan agar setiap orang tidak memandang atau mengelompokkan orang lain berdasarkan perbedaan rupa, bentuk dan derajat. Dengan menjalankan nilai-nilai luhur tersebut dan menjadikan agama sebagai solusi untuk setiap permasalahan hidup, dia mengatakan, kehidupan manusia akan dapat berjalan lebih baik.
Dia menegaskan bahwa kebinekaan adalah bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan setiap makhluk, termasuk kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Kebinekaan atau keberagaman adalah sesuatu yang memang sudah digariskan Tuhan kepada masyarakat Indonesia.
Itu sebabnya keberagaman semestinya tidak dipersoalkan, tetapi disyukuri sebagai anugerah tak ternilai. ”Di antara banyak keberagaman ini, kita semestinya bersinergi, saling mengisi satu sama lain,” ujarnya.
Selalu lupa
Ketua Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) Setiaji Eko Nugroho mengatakan, di era sekarang, manusia sering kali lupa dengan kondisi masyarakat yang heterogen karena dirinya lebih sering berkomunikasi dengan orang-orang yang memiliki satu pemahaman di media sosial. ”Semakin tinggi intensitas kita berkomunikasi dengan orang-orang atau kelompok tertentu, secara otomatis, kita akan membangun tembok yang makin tinggi, membentengi diri, dan menolak semua perbedaan di luar. Pada akhirnya, kebiasaan ini akan membuat kita semakin kehilangan empati dan kepedulian terhadap orang lain,” tuturnya.
Dunia media (media sosial) memang memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memilih, mencari teman yang memiliki satu ide dengannya. Dengan kesempatan inilah, setiap orang seolah bisa menciptakan dunianya sendiri, dunia kecil, yang seolah tanpa ada perbedaan pandangan atau pemahaman.
Mereka menjadi lupa dan sulit beradaptasi dengan kehidupan dunia nyata yang sebenarnya sangat beragam. ”Dunia media sosial memudahkan terjadinya polarisasi,” ujarnya. (EGI)