WAMENA, KOMPAS — Ribuan hektar tanaman kopi di Kabupaten Jayawijaya, Papua, terbengkalai dalam 10 tahun terakhir. Kini, di tengah meningkatnya permintaan dunia terhadap kopi dari Papua, produksi daerah itu tidak mampu mencukupi. Revitalisasi kopi perlu segera dilakukan.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Jayawijaya Hendri Tetelepta mengatakan, dari 1.910 hektar areal kopi di wilayah itu, sebagian besar dalam kondisi terbengkalai. ”Ada 1.112 hektar tanaman kopi yang kondisinya rusak karena tak dipelihara selama 10 tahun terakhir,” kata Hendri, Sabtu (24/3).
Adapun tanaman kopi yang produktif hanya 520 hektar, sedangkan 300 hektar lainnya belum produksi. Produktivitas tanaman pun tergolong rendah, yakni 600 kilogram per hektar per tahun. Dalam setahun, kabupaten itu menghasilkan 125,7 ton biji kopi.
Menurut Hendri, sejak dimulainya otonomi khusus, masyarakat Papua kebanjiran bantuan uang dan bahan makanan. ”Akibatnya masyarakat jadi malas bekerja. Sejak itulah tanaman kopi mulai ditelantarkan,” ujarnya.
Upaya pemerintah menghidupkan kembali sektor hulu kopi pun tak optimal. Dukungan cenderung mengarah pada bantuan fisik berupa peralatan untuk pemeliharaan kebun. Lalu pemberdayaan minim.
Pada 2017, dana Rp 400 juta dikucurkan untuk pembelian mesin babat gendong. Bantuan ditujukan bagi 40 kelompok tani yang masih aktif agar memudahkan perawatan lahan. Namun, bantuan-bantuan itu kurang efektif.
Peralatan banyak menganggur di beberapa sentra budidaya dan unit pengolahan. Di Unit Pengolahan Kopi Kurulu, Kampung Waga-waga, Distrik Kurulu, belasan mesin pengolah kopi menganggur. Ketua Koperasi Peran Masyarakat Kurulu Hubertus Mariam mengatakan, dari 50-an petani kopi setempat, yang masih aktif tinggal sekitar 20 orang. Sebagian besar petani tak lagi merawat ataupun memanen kopi. Akibatnya, produksi kopi merosot. Penggunaan mesin pun semakin jarang. ”Hasil panennya sedikit saja. Kami kekurangan tenaga,” katanya.
Kompas mendapati sejumlah kebun kopi yang digalakkan pemerintah 20 tahun lalu dalam kondisi penuh semak belukar. Di Kecamatan Jagara, tanaman kopi sudah setinggi 3 meter. Daunnya kecil-kecil. Tanaman kopi tampak berdesakan dengan tanaman liar lainnya. Kondisi serupa dijumpai di Kecamatan Pyramid, yang pernah menjadi kebun percontohan saat awal digalakkan penanaman kopi di Lembah Baliem, pegunungan tengah Papua.
Petani di kawasan Pyramid, Torsina, mengatakan, banyak petani meninggalkan lahannya tak semata faktor besarnya aliran bantuan. Faktor lain adalah turunnya harga kopi pada 5 hingga 10 tahun silam. Anjloknya harga membuat petani tak bergairah merawat tanaman. ”Ada pula tanaman kopi ditebang lalu diganti dengan tanaman ubi,” ujarnya.
Dalam dua tahun terakhir, Torsina mendorong perempuan petani untuk mulai menanam kopi dan merawat kembali tanaman yang terbengkalai. Pengembangan itu ia usahakan di 6 kecamatan, yakni Pyramid, Bolagmee, Asologaima, Jalengga, Biri, dan Kuragi. Luasnya sekitar 495 hektar, dikelola sekitar 200 perempuan petani setempat.
Perkebunan telantar juga terlihat di Kabupaten Dogiai, Provinsi Papua. Di Kampung Ugapuga, Dogiai, sebagian perkebunan kopi tertutup rumput tinggi. Batang pohon dan daun terlihat lebat tak pernah dipangkas, pohon kopi pun setinggi 2 meter.
Gerardus Agapa (65), pemilik perkebunan kopi itu, mengatakan tak punya tenaga untuk merawat kebun kopi. Anak-anaknya merantau di kota. Ia tidak bisa menemukan anak muda yang bisa mengurus kebun kopinya.
Di sepanjang jalan dari Dogiai hingga ke Deiyaai yang berjarak sekitar 65 km, banyak kebun kopi yang juga tak terawat. Pohon kopi dibiarkan tinggi, sebagian bahkan sudah bercampur dengan tanaman lain.
Perkebunan kopi di Dogiai berjaya tahun 1970-1990. Saat itu, misionaris menampung kopi dari petani untuk di kirim ke Timika. ”Kopi dipilih karena cocok dan bisa diangkut dengan pesawat kecil. Saat itu Dogiai dan sekitarnya masih terisolasi. Seiring dengan waktu. Jalan terbuka dan warga punya banyak pilihan pekerjaan. Saat itulah kopi ditinggalkan,” tutur Didimus Tebai, pengelola pabrik kopi P5, warisan misionaris Belanda.
Meski demikian, sebagian komunitas, dalam dua tahun terakhir, mulai menggerakkan kopi. Sebagian dari mereka ingin mengangkat lagi potensi lokal dan menyejahterakan warga. Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat (Yapkema) melatih para petani agar kembali memproduksi kopi. Kopi yang dipanen ditampung dan dipasarkan keluar dengan nama produk Enauto. Para pegiat di Dogiai pun mulai bergerak membangkitkan ekonomi warga dari kopi. (NIT/ITA)