Tidak Ada Lagi yang Susah Makan
Tangan keriput Mastinah (65) menggenggam erat wadah makanan kosong di rumahnya di Gubeng Klingsingan, Kecamatan Gubeng, Surabaya, Kamis (23/3). Bersama suaminya, Darsono (75), pasangan itu menanti pembagian makanan dari Dinas Sosial Kota Surabaya.
Sekitar pukul 09.00, pengantar makanan yang dinanti, Murni (37), pun tiba di rumah mereka di antara gang sempit perkotaan. Kotak makanan yang dibawa Murni dengan ontelnya (sepeda) langsung diberikan kepada Mastinah dan Darsono, ditukar dengan kotak makanan kosong yang diterima pasangan ini sehari sebelumnya.
Mastinah dan Darsono adalah sebagian warga lanjut usia (lansia) penerima program Permakanan Dinas Sosial Kota Surabaya. Setiap pagi, mereka mendapatkan makanan gratis yang diantar langsung ke rumah masing-masing. Makanan terdiri dari nasi, sayuran, buah, dan air mineral yang dibungkus dengan tempat makanan dari plastik.
"Makanan ini saya habiskan dua kali dalam sehari untuk pagi dan sore karena saya hanya mengandalkan makanan dari dinas sosial untuk makan sehari-hari," kata Mastinah, yang menikmati Permakanan dari Pemkot Surabaya sejak setahun lalu.
Padahal, sudah lima tahun lamanya Darsono dan Mastinah tidak mampu lagi bekerja karena termakan usia. Dalam kondisi sulit, mereka masih dibebani menghidupi seorang cucu, Albar Ardiansyah (17), yang tinggal bersama di rumah berukuran 2 x 3 meter. "Selama empat tahun tidak ada penghasilan dan belum mendapatkan Permakanan, kami hanya mengandalkan bantuan dari anak dan tetangga untuk makan," ujar Darsono.
Keadaan itu membuat pasangan ini tidak lagi memiliki penghasilan. Namun, sejak setahun lalu, ketiganya mendapat bantuan dari Dinas Sosial Surabaya. Mastinah dan Darsono masuk kelompok lansia penerima program Permakanan, sedangkan Albar adalah anak yatim yang juga mendapatkan makanan gratis. Ketiganya menggantungkan kebutuhan makan setiap hari dari bantuan Dinas Sosial Surabaya.
Darsono mengatakan, keluarganya amat terbantu dengan makanan gratis yang diberikan setiap hari. Bantuan dari anaknya yang juga ibu dari Albar hanya cukup untuk membayar listrik tiap bulan. Rumah yang ditempati adalah warisan dari orangtua Darsono.
Lansia lain penerima program Permakanan, Maunten (88), juga mengaku terbantu dengan program ini. Perempuan yang hidup sebatang kara di Siwalankerto, Kecamatan Wonocolo, ini bekerja sebagai pedagang makanan ringan di rumahnya yang berukuran 2 x 3 meter. Penghasilan bersihnya Rp 10.000 per hari.
Maunten jadi peserta program ini sejak enam tahun lalu. Sebelum dapat jatah makanan dari Pemkot Surabaya, dia tak pernah makan teratur. Maunten yang juga menderita penyakit gangguan pernapasan ini terkadang hanya makan satu kali sehari, dengan nasi tanpa lauk. "Kadang-kadang, kalau tidak ada uang, saya makan nasi aking. Yang penting perut terisi," ujarnya.
Seperti halnya Mastinah dan Darsono, Maunten juga mendapatkan jatah makanan dua kali per hari, yakni pagi dan siang. Untuk malam, biasanya dia dapat dari anaknya, Kadir, yang bekerja sebagai penjaga kos dengan penghasilan Rp 500.000 per bulan.
Paling lambat
Satgas Dinas Sosial Permakanan Kecamatan Gubeng, Anggun Nur Aisyah (25), menjelaskan, makanan yang dibagikan itu harus tiba di tangan penerima sebelum pukul 10.00. Makanan ini ada yang diantar menggunakan sepeda. Ada juga petugas mengantar dengan berjalan kaki. Meski demikian, makanan dipastikan sampai ke penerima sesuai jadwal sebab proses pengantaran juga diawasi ketat.
Sekretaris Dinas Sosial Surabaya Atiyun Najjah Indhira mengatakan, tahun ini ada 29.249 penerima program Permakanan. Itu meliputi 17.537 lansia, 5.712 difabel, dan 6.000 anak yatim piatu.
Nilai makanan yang diberikan selalu bertambah. Jika di awal program pada 2012 setiap orang senilai Rp 4.000 per hari, kini menjadi Rp 11.000. Kemasannya juga berubah, dari semula bungkusan kertas menjadi tempat makanan dari plastik agar lebih higienis.
"Makanan untuk tiap kategori berbeda-beda, disesuaikan dengan kebutuhan dan usianya. Ada 10 variasi menu makanan agar penerima tidak bosan," kata Anggun. Setiap hari jatah penerima program sesuai dengan kebutuhan gizi yang direkomendasikan ahli gizi. Jatah itu antara lain nasi, lauk, sayur, buah, dan air mineral.
Kepala Dinas Sosial Supomo menuturkan, program hanya bagi warga tidak mampu yang terdaftar di Basis Data Terpadu Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Misalnya, untuk lansia, usia minimal 60 tahun, tinggal seorang diri, dan anak-anaknya tak sanggup membiayai. Sementara anak yatim piatu adalah mereka yang berasal dari orangtua tidak mampu atau mereka yang tidak diurus orangtuanya. Adapun syarat bagi difabel adalah karena keluarganya tak menghidupi. Khusus penerima dari kelompok yatim piatu berhak mendapat makan sekali sehari hingga usia 18 tahun.
"Petugas di lapangan juga bisa mengusulkan penerima lain di luar basis data terpadu jika di lapangan menemui warga yang amat membutuhkan, tetapi belum menerima bantuan," ujar Supomo.
Kebutuhan dasar
Terkait program Permakanan, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengungkapkan, Pemkot Surabaya memberikan makanan gratis karena ingin memastikan tidak ada warga yang tidak bisa makan. Sebab, makan adalah salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi manusia setiap hari.
Lansia, sebagai salah satu penerima, merupakan penduduk yang memiliki risiko tinggi mendapatkan masalah kesehatan, baik fisik, mental, maupun sosial. Warga lansia umumnya mengalami penurunan kemampuan, seperti penurunan kemampuan fisik, emosional, mobilitas, berinteraksi sosial, dan tingkat kesehatan.
Akibatnya, tidak semua lansia dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara layak dan hidupnya bergantung pada bantuan keluarga atau orang lain. Bahkan, mereka memilih jadi pengemis. Untuk memastikan tak ada lagi lansia, kaum difabel, dan yatim piatu, dari keluarga tak mampu, tak makan seharian, pemkot pun terus memasang mata dan telinga hingga gang sempit. Kalangan ini menjadi sasaran utama program agar tak ada warga Surabaya lapar di tengah dahsyatnya pembangunan kota.