JAKARTA, KOMPAS — Provinsi Lampung berpotensi menjadi lumbung udang nasional. Namun, potensi itu belum digarap maksimal karena terkendala infrastruktur jalan, pasokan listrik, dan dukungan biaya.
Ketua Kelompok Kerja Industri Perikanan, Maritim, dan Peternakan Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Mohammad Nadjikh mengatakan, potensi lumbung udang terbesar berada di Bumi Dipasena. Berdasarkan penelitian KEIN, kapasitas produksi udang di wilayah itu mencapai 75.000 ton per tahun atau senilai Rp 4,5 miliar dengan asumsi harga udang Rp 60.000 per kilogram.
”Potensi itu belum tergarap maksimal karena produksi udang di Provinsi Lampung selama tahun 2010-2016 hanya berkisar 40.000-80.000 ton,” kata Nadjikh dalam rapat Revitalisasi Industri Tambak Udang Rakyat Bumi Dipasena untuk Mendukung Peningkatan Ekspor Perikanan Nasional, di Jakarta, Senin (26/3).
Mengutip data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung, dari potensi budidaya air payau 93.951,58 hektar, baru termanfaatkan 37.985,36 hektar atau 40,43 persen. Adapun luas lahan tambak 16.250 hektar atau 17.139 petak terletak di Bumi Dipasena, Kabupaten Tulang Bawang, Lampung.
Menurut Nadjikh, budidaya udang di Lampung utamanya terkendala infrastruktur jalan menuju kawasan tambak, tidak ada pasokan listrik, minimnya dukungan modal perbankan, dan lemahnya koordinasi akibat ego sektoral. Karena itu, perlu adanya koordinasi antarinstansi terkait penyediaan sarana dan infrastruktur pendukung.
KEIN berencana mengajukan Provinsi Lampung sebagai lumbung udang nasional kepada Presiden. Potensi produksi udang di Lampung sekitar 40 persen dari total produksi nasional. Udang menjadi komoditas unggulan guna meningkatkan ekspor perikanan nasional yang kini turun. Negara tujuan ekspor udang Indonesia adalah Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung Toga Mahaji menjelaskan, pemerintah fokus pada pembangunan perikanan budidaya tahun 2015-2019. Hal itu diwujudkan melalui pengembangan iklim usaha perikanan, perbaikan infrastruktur dan fasilitas, pengembangan pakan ikan, induk, dan benih unggul secara mandiri. ”Kebijakan pemerintah provinsi kerap terkendala kualitas SDM. Di tingkat kabupaten, banyak pemangku kepentingan yang tidak paham masalah budidaya perikanan udang,” kata Toga.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Bumi Dipasena Nafian Faiz menilai, petambak udang di Bumi Dipasena telah menerapkan pengelolaan tambak berbasis usaha bersama. Petambak ditempatkan sebagai investor dengan sistem bagi hasil produksi dipotong biaya operasional, cadangan risiko usaha 10 persen, dan dana sosial 2,5 persen. Dengan sistem tata kelola ini, petambak yang merugi tak perlu menanggung utang biaya produksi karena sudah ada cadangan risiko usaha. (KRN)