Kreativitas Warga Perbaiki Nasib
Di rumah warga Blok Wage, Desa Ciawigajah, 28 kilometer dari pusat kota Cirebon, Rabu (21/3) siang, tampak mesin pengolah air baku serta dua penampungan air ukuran besar yang terbungkus rapi. Di dinding depan terpasang spanduk bertulis ”Badan Usaha Milik Desa Unit Usaha Air Bersih Air Minum Dalam Kemasan”.
”Semua sudah siap. Kami sedang mengurus izin untuk memproduksi air minum dalam kemasan. Targetnya April tahun ini jalan,” ujar Kepala Desa Ciawigajah Nunung Nurhadi menjelaskan proyek yang menelan dana desa Rp 450 juta itu.
Pemerintah desa (pemdes) tidak pusing dengan pemasaran. Forum Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Kabupaten Cirebon jauh-jauh hari sudah memesan produk itu.
”Salah satu distributor air dalam kemasan juga telah pesan 5.000 dus per hari. Padahal, kami baru mampu menghasilkan 1.200 dus per hari,” ujar Nunung.
Produk yang diberi nama Makmurqua itu menurut rencana dijual Rp 11.500 per dus. Jauh lebih murah dibandingkan produk lain sejenis yang berharga sekitar Rp 15.000 per dus. Pabrik juga bakal menjual air Rp 4.000 per galon.
”Jika berjalan sesuai rencana, pendapatan desa bisa Rp 1,2 miliar per tahun dari usaha air minum kemasan. Hampir sama dengan alokasi dana desa sekitar Rp 1 miliar per desa,” katanya.
Keberlimpahan air menjadi berkah bagi Ciawigajah. Sumbernya adalah mata air Cihambulu yang keluar dari celah tebing Sungai Cimanis dengan debit 8 liter per detik. Hasil pemeriksaan sampel air oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon pada 2016, air itu tidak berasa dan berbau. Pengujian kimia dan fisika, seperti zat padat pelarut, seng (Zn), dan besi (Fe), memenuhi syarat baku mutu. Mata air yang berjarak 300 meter dari permukiman warga itu digolongkan sebagai air bersih.
Mata air lain di Ciawigajah adalah Liang Putri, Lebak Tangkon Cigoong, Jojongor, Nusa, dan Hulu Dayeuh. Seluruh mata air itu memiliki debit air hingga 35 liter per detik.
Kearifan lokal
Warga menjaga mata air yang ada di desa turun-temurun. Berdasarkan cerita rakyat setempat, daerah itu pernah mengalami kekeringan hebat ratusan tahun lalu pada masa Kerajaan Timbang Luhur. Rakyat kelaparan, tanaman enggan tumbuh.
Adipati Kerajaan Timbang Luhur pun membuat sayembara. Siapa yang mampu mendatangkan air akan dinikahkan dengan putrinya.
Tak disangka, raksasa bernama Badugangjaya menjadi pemenang. Sang putri enggan menikah dan melarikan diri ke goa di pinggir sungai, kini dikenal dengan Liang Putri.
Gajah kerajaan bersama dua putra raja ikut mencari putri. Sesampai di satu tempat yang dipadati bambu, pijakan kaki gajah memicu keluarnya air. Karena itu, daerah tersebut dinamai Ciawigajah. Sampai saat ini, keberadaan putri tak diketahui.
Selain air kemasan, warga mengelola mata air lewat perusahaan air minum desa (PAMDes) yang dialirkan ke rumah warga sejak 2006. Pelanggannya kini mencapai 714 rumah.
Sebelumnya, warga yang bertempat tinggal jauh di atas sungai kerap kesulitan air di musim kemarau. Menggali sumur sampai kedalaman 8 meter-15 meter pun airnya berbau dan tercemar tanah liat.
”Dulu, kalau kemarau, sama sekali tidak ada air. Sekarang, meski tidak setiap saat mengalir, saat kemarau ada air,” ujar Yuyun (30), warga setempat.
Menurut dia, biaya pembelian air Rp 1.000 per meter kubik. Tahun lalu, Rp 500 per meter kubik. ”Sebulan saya membayar Rp 15.000-Rp 30.000,” ujar Yuyun yang tinggal bersama lima anggota keluarga.
Dibandingkan memakai air sumur, demikian Yuyun, air PAMDes lebih hemat. Karena air sumur tak layak minum, harus membeli air minum Rp 5.000-Rp 16.000 per galon.
Kepala Seksi Perekonomian dan Pembangunan Desa Ciawigajah Suharto mengatakan, keuntungan bersih yang didapat desa Rp 25 juta per tahun. Dari usaha tersebut, pemdes mampu membeli lahan seluas 2.800 meter persegi.
Namun, aliran PAMDes belum mengaliri semua rumah. Air dari enam mata air ditampung pada empat penampungan air PAMDes. Tidak semua langsung dari mata air, ada air yang melewati sungai terlebih dulu. Aliran air itu kadang terhambat tumpukan sampah daun dan plastik. Pemdes terus berupaya membenahi persoalan itu.
Pertanian dan wisata
Kreativitas warga dan pemdes tak terhenti pada pengelolaan air bersih. Desa itu juga menjadi sentra ubi jalar di Cirebon dengan produksi 200 ton-300 ton ubi per tahun. Sebagian besar hasil panen petani, menurut Nunung, dititipjualkan kepada BUMDesmart Ciawigajah untuk mempermudah akses penjualan.
Pengelolaan tanah desa diatur saksama. Tanah desa seluas 20 hektar dilelang secara terbuka. Setiap orang tidak boleh menyewa lebih dari 1 hektar. Aturan ini memberi kesempatan bagi setiap warga desa untuk bertani, tidak hanya pemodal besar. Dalam setahun, pendapatan desa mencapai Rp 140 juta dari sewa lahan.
”Untuk peternakan, pemdes membuat unit usaha ternak yang terdiri dari 6 kelompok ternak. Lebih dari 100 kambing dipelihara di kandang yang jauh dari permukiman penduduk untuk menghindari potensi pencemaran dari kotoran ternak,” papar Nunung.
Nunung menambahkan, pemdes mengembangkan Sungai Cimanis di sepanjang 3 kilometer untuk arum jeram. Targetnya, tahun ini obyek wisata itu siap menerima wisatawan.
Berbagai inovasi menjadikan Ciawigajah sebagai desa dengan BUMDes terbaik se-Kabupaten Cirebon pada 2016. Tahun berikutnya, Ciawigajah menjadi desa terbaik dari lebih 400 desa.