Pabrik Kesulitan Bahan Baku Karet
PONTIANAK, KOMPAS — Dalam beberapa tahun terakhir, pabrik karet di Kalimantan Barat kesulitan mendapatkan bahan baku. Mereka mendatangkan bahan baku dari luar daerah agar bisa bertahan. Namun, ada pula yang berhenti beroperasi sementara waktu, bahkan ada yang terpaksa tutup.
”Kebutuhannya 500.000 ton per tahun dari kapasitas produksi yang terpasang di pabrik. Namun, bahan baku yang bisa didapatkan dari petani di Kalbar hanya sekitar 250.000 ton per tahun,” kata Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Kalbar Jusdar Sutan, Selasa (27/3).
Untuk mendapatkan bahan baku, pabrik ada yang mendatangkan bahan baku dari luar Kalbar, misalnya dari Sumatera. Sebanyak 15 persen hingga 20 persen dari total bahan baku yang dibutuhkan didatangkan dari luar Kalbar.
Kekurangan bahan baku itu mengakibatkan sejumlah pabrik karet di Kalbar kesulitan berproduksi. Dari 16 pabrik yang ada di Kalbar, satu pabrik sudah tutup sejak tiga tahun lalu. Selain itu, tiga pabrik sementara tidak beroperasi karena kekurangan bahan baku.
Sulitnya mendapatkan bahan baku karena produktivitas perkebunan karet (di hulu) masih rendah. Ini akibat perkebunan karet petani tidak diremajakan. Produktivitas karet petani di Kalbar hanya sekitar 700 kilogram per hektar per tahun. Bandingkan dengan negara lain, misalnya Vietnam yang produktivitasnya bisa dua hingga tiga kali lipat dari itu.
”Rendahnya produktivitas itu akibat perkebunan karet petani yang hingga kini banyak yang tidak diremajakan. Usia karet petani di Kalbar pada umumnya sudah lebih dari 25 tahun sehingga produktivitasnya rendah,” tutur Jusdar.
Hal itu diperburuk lagi dengan kondisi perkebunan karet warga yang tidak terawat. Di antara kebun karet terdapat semak belukar. Lokasi perkebunan karet warga tidak benar-benar bersih sehingga memengaruhi perkembangannya.
Padahal, meskipun harganya sering berfluktuasi, karet masih diperlukan oleh negara-negara tujuan ekspor. Sampai sejauh ini karet alam masih diperlukan dalam berbagai industri. Peluang itu sebetulnya bisa dimanfaatkan jika didukung dengan produktivitas petani yang baik.
Untuk meningkatkan produktivitas karet, bisa dilakukan dengan menggunakan bibit unggul. Negara-negara produsen karet dengan produktivitas karet yang lebih baik dari Indonesia menggunakan bibit unggul.
Masih sulit
Efredi (53), petani karet di Kabupaten Sanggau, mengatakan, peremajaan kebun karet memang sulit bagi petani. Apalagi, petani selalu menghadapi fluktuasi harga. ”Jangankan meremajakan kebun karet, untuk berusaha bertahan dari kondisi harga yang sering berubah-ubah saja kami kesulitan,” ucapnya.
Harga pasar karet yang cenderung rendah membuat keuangan petani memburuk. Petani fokus untuk bertahan hidup dalam kondisi seperti itu sehingga aspek produktivitas terabaikan.
”Apalagi, kalau harus menggunakan bibit karet yang unggul dalam meremajakan kebun karet, kami tentu perlu bantuan pemerintah di tengah sulitnya keuangan ini. Itulah sebabnya tidak mudah bagi kami untuk meremajakan karet,” tuturnya.
Selain terbentur biaya, kesulitan petani dalam meremajakan karet adalah mereka akan kehilangan penghasilan saat pohon karet ditebang dan diganti dengan bibit yang baru. Itu seperti yang dikemukakan Matius (35), petani karet dari Kabupaten Ketapang.
”Kalau kebun karet diremajakan, tentu ada pohon karet yang ditebang, terutama yang tidak produktif. Pada fase ini, kami kehilangan penghasilan yang cukup banyak. Apalagi, karet memerlukan waktu yang lama baru bisa disadap lagi,” kata Matius mengungkapkan.
Pada fase peremajaan itu, petani memerlukan penghasilan alternatif agar tetap memiliki ketahanan ekonomi. Bagi petani yang hanya menggantungkan penghasilannya dari karet, dampak terhadap ekonomi keluarganya sangat signifikan.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak Eddy Suratman menilai bahwa lambannya proses peremajaan tanaman juga dipicu harga selama beberapa tahun terakhir yang kurang menggairahkan bagi petani.
Pemerintah hendaknya intervensi, misalnya memberikan subsidi berupa pemberian bibit unggul. ”Komoditas karet juga harus diperhatikan, sama seperti pemerintah memberi perhatian kepada komoditas sawit,” ujar Eddy menjelaskan. (ESA)