PALU, KOMPAS — Sulawesi Tengah mulai mengekspor ikan bandeng dengan pola kemitraan langsung antara eksportir dan petambak. Pola itu mendongkrak harga bandeng di tingkat petambak. Pemerintah juga berupaya menggaet mitra lain karena potensi bandeng di Sulteng cukup besar.
Ekspor dilakukan PT Ocean Mega Persada, perusahaan asal Surabaya, Jawa Timur, sebanyak tiga kali pada Maret ini dengan total volume 66 ton. Mayoritas bandeng berukuran kecil dikirim ke Sri Lanka. Sementara 16 ton bandeng besar bebas duri dikapalkan ke Rusia.
Ikan itu dikirim dari Pelabuhan Pantoloan, Palu, melalui Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Bandeng dibeli dari petambak di Kabupaten Parigi Moutong.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng Hasanuddin Atjo mengatakan, ekspor itu menaikkan harga bandeng di tingkat petambak. ”Ini dorongan besar bagi petambak atau pembudidaya untuk lebih giat berusaha. Pemerintah akan terus memfasilitasi petambak,” ujarnya di Palu, Kamis (29/3).
Eksportir membeli bandeng dari petambak dengan harga lebih tinggi dibandingkan harga di pasar lokal. Untuk bandeng berukuran besar (2-3 ekor per kilogram), harganya Rp 19.200 per kg. Bandeng berukuran sama di pasar lokal Rp 15.000 per kg.
Adapun bandeng berukuran kecil (8-10 ekor per kg) dihargai Rp 13.000 per kg, sedangkan harga pasar Rp 8.000 per kg. Dengan demikian, petambak mendapatkan tambahan penghasilan Rp 4.000-Rp 5.000 per kg.
Hasanuddin menyatakan, skema niaga langsung antara petambak dan eksportir akan terus diperkuat. Selain mitra yang kini telah berkomitmen, ada perusahaan lain yang ingin bermitra bisnis dengan petambak untuk mengekspor bandeng.
Bersama dengan pemerintah, eksportir pun dimintai tanggung jawab untuk membina para petambak agar menerapkan sistem budidaya berkualitas, di antaranya mencakup pengaturan sirkulasi air di tambak, penyediaan pakan, hingga pascapanen.
Kendala
Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng mencatat, total luas tambak di provinsi itu mencapai 12.000 hektar yang tersebar di Parigi Moutong, Donggala, Tolitoli, dan Buol. Mayoritas tambak dimanfaatkan untuk budidaya bandeng.
Adapun produksi bandeng mencapai 10.000 ton per tahun dari tingkat produktivitas 300- 400 kg per hektar. Selama ini, bandeng dari Sulteng dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan lokal dan regional.
Hasanuddin menuturkan, salah satu kendala pengembangan bandeng adalah kebiasaan petambak menjual ikan berukuran kecil dengan harga murah. Melalui kemitraan dengan eksportir, petambak akan diedukasi untuk memperbesar ukuran ikan. Dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar lokal, petambak diharapkan tak memanen bandeng dalam ukuran kecil lagi.
Selain terkait harga, kata Hasanuddin, bandeng ukuran besar diekspor dalam bentuk setengah diolah, yakni bebas duri. Pemerintah setempat menggelar pelatihan teknologi cabut duri bandeng untuk 300 tenaga khusus. Eksportir akan menyewa jasa mereka dengan taksiran upah Rp 1.500 per ekor. ”Jadi, ada nilai tambah ada juga penyerapan tenaga kerja,” katanya.
Herman (41), petambak Desa Palapi, Kecamatan Taopa, Parigi Moutong, mengatakan, pembudidaya bandeng terbantu pola kemitraan bersama eksportir. Sebelumnya, petambak menjual bandeng ke pengepul pasar lokal yang menelan banyak biaya.
”Adanya eksportir yang datang ke tempat usaha, pasar ikan menjadi lebih bagus dan banyak biaya terpangkas karena penampungan terjangkau,” ujar Herman.
Surya, Manajer Operasional PT Ocean Mega Persada, memastikan komitmen untuk bekerja sama dengan petambak dalam jangka panjang. Infrastruktur pendukung akan ditambah demi komitmen itu. (VDL)