PANYABUNGAN, KOMPAS - Transmigran di Desa Singkuang, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, 10 tahun lebih bersengketa dengan PT Rendy Permata Raya. Lahan mereka tumpang tindih dengan hak guna usaha perusahaan. Warga berharap negara menjamin pemberian lahan 2 hektar per keluarga sesuai penempatan yang diberikan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2002.
Koordinator Desa Sentra Penempatan Transmigran Desa Singkuang, M Nur Sitanggang (48), saat berkunjung ke kantor perwakilan harian Kompas di Medan, Jumat (30/3), menuturkan, transmigran yang ditempatkan di Singkuang adalah korban konflik Aceh.
Sebelum ditempatkan, kata Nur, ratusan keluarga itu berada di penampungan Dinas Sosial Sumut di Jalan Pancing, Medan, selama setahun. ”Saya sempat ke Riau bekerja menjadi buruh karena tidak tahan tinggal di penampungan,” katanya.
Sebanyak 350 keluarga ditempatkan di Sentra Penempatan (SP) Unit I Singkuang tahun 2002 di lahan 893 hektar. Pada 2004, ditempatkan lagi 325 keluarga di Unit II Singkuang di lahan 850 hektar. Setiap keluarga mendapatkan lahan 2 hektar. Rinciannya, lahan pekarangan 0,25 hektar, lahan usaha I 0,75 hektar, dan lahan usaha II 1 hektar.
Tumpang tindih
Saat menyertifikatkan lahan secara mandiri, baru transmigran mengetahui bahwa lahan mereka tumpang tindih. ”Di SP Unit 1, setiap keluarga bisa menyertifikatkan lahan 1,5 hektar dari 2 hektar yang dimiliki. Kalau di SP Unit 2, hanya 0,7 hektar yang bisa disertifikatkan,” kata Nur.
Sertifikat hak milik warga keluar pada Januari 2015. Sertifikat tidak bisa diberikan utuh oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) karena lahan mereka tumpang tindih dengan PT Rendy Permata Raya yang memiliki HGU seluas 3.741,88 hektar.
Di Singkuang, sekitar 18 jam perjalanan darat dari Medan atau tiga jam dari Panyabungan, ibu kota Mandailing Natal, warga kesulitan bercocok tanam karena lahan yang diberikan adalah lahan gambut dengan kedalaman gambut 5-20 meter. ”Belasan kali kami tawarkan lahan kami kepada perusahaan untuk mengupayakan sistem plasma, tetapi tidak cocok,” kata Nur. Terakhir, mereka mendirikan Koperasi Produsen Sumber Jaya dan diterima sebagai petani plasma PT Tri Bahtera Srikandi.
Maret 2014, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar menyurati Kepala BPN RI untuk meninjau kembali luasan HGU PT Rendy Permata Raya yang menerima SK BPN tertanggal 25 Maret 2009 terkait pemberian HGU. Namun, BPN mengeluarkan sertifikat HGU pada Juli 2015.
Panitia Khusus Trans-Singkuang DPRD Mandailing Natal pada 2016 juga telah dibentuk dan merekomendasikan DPRD Mandailing Natal menyurati Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN agar melakukan revisi SK HGU BPN RI Nomor 46-HGU-BPN-RI-2007 tanggal 25 Maret 2009 tentang pemberian HGU PT Rendy Permata Raya.
Kepala Bidang Pembinaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumut Bambang Siswanto mengatakan, pihaknya telah melakukan pertemuan dengan BPN Sumut serta menyurati Kementerian ATR/BPN terkait kasus ini. ”Tanggal 6 April nanti ada pertemuan dengan pihak-pihak terkait, termasuk dari pusat, perihal tumpang tindih di Mandailing Natal,” katanya. (WSI)