”Kini, Kami Tak Lagi Merayu Listrik”
Penerangan jalan umum yang bersumber dari tenaga surya menerangi jalan setapak di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika di Desa Kuta, Lombok Tengah, Kamis (29/3/2018) petang. Sejumlah wisatawan bercengkerama di atas pasir pantai. Anak-anak bermain di arena khusus. Ditemani cahaya lampu, pekerja menyelesaikan sebuah bangunan di sisi lain.
Kawasan seluas 1.175 hektar yang dikembangkan sebagai wilayah wisata sejak 25 tahun lalu itu menjadi satu dari 10 destinasi unggulan pariwisata Indonesia di luar Bali. Destinasi lainnya seperti Danau Toba (Sumatera Utara), Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur), dan Morotai (Maluku Utara).
Mengapa butuh waktu lama untuk menarik wisatawan di wilayah dengan pasir putih dan tebing menawan itu? ”Listrik dari dulu menjadi kendala. Lima tahun lalu, dalam seminggu, listrik bisa padam dua sampai tiga kali,” ujar I Gede Yopi, pemilik Hotel Segaraanak, Mandalika.
Bahkan, untuk menambah daya listrik, ia harus mengantre tiga bulan di daftar PT PLN (Persero). Akibatnya, selain diterpa ocehan para tamu soal listrik, hotel yang berdiri lebih dari 20 tahun itu juga tidak dapat menambah jumlah kamar. Padahal, saat puncak liburan, Juni-Agustus, okupansi hotel dengan 26 kamar itu bisa mencapai 100 persen.
Hal serupa sempat dialami penginapan dan hotel di Gili Trawangan, Meno, dan Air, Lombok Utara. Pulau kecil yang dijangkau dengan kapal cepat sekitar 15 menit ini kerap dibanjiri turis.
Room Division Manager Villa Ombak (Gili Trawangan) Made Gunung mengisahkan, demi menerangi 60 kamar pada 2006, pihaknya membeli solar untuk bahan bakar diesel yang diangkut menggunakan tongkang selama 2 jam. Saat cuaca buruk, jadwal pengangkutan tak jelas. Ini belum termasuk bising dan polusi yang keluar dari mesin diesel. Resor yang berdiri sejak 1998 itu pun sulit berkembang karena keterbatasan listrik.
”Dulu, kami merayu listrik,” ucap Gunung. Mendatangkan listrik rasanya lebih sulit dibandingkan wisatawan. Malah biaya operasionalisasi tersedot untuk diesel, termasuk pemeliharaan.
Masa kini
Namun, itu cerita lama. Pasokan listrik kian membaik. Sejak 2012, PT PLN memasang kabel laut tegangan 20 kilovolt yang menghubungkan listrik dari PLN Wilayah NTB menuju tiga gili. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di tiga gili itu juga memasok 820 kilowatt-peak (kWp).
Caranya, cahaya matahari diserap panel surya lalu langsung dialirkan ke pelanggan, termasuk hotel dan penginapan. Tercatat 4.421 pelanggan di tiga gili.
”Sekarang, PLN yang datang ke kami untuk menawarkan penambahan daya listrik. Kami pasti tambah daya 150 kilovolt ampere (KVA) dari sebelumnya 494 KVA,” lanjut Gunung. Ia pun mampu menghemat hingga 30 persen biaya operasionalisasi dibanding menggunakan diesel.
Penambahan daya dibutuhkan untuk menambah jumlah kamar yang saat ini 149 unit. Artinya, jumlah karyawan yang tadinya 280 orang plus 33 pekerja paruh waktu berpotensi bertambah.
Apalagi, menurut dia, okupansi kamar rata-rata 80 persen. Bahkan, saat masa puncak liburan, pihaknya kerap menolak tamu karena keterbatasan kamar. ”Tahun depan, kami juga berencana tambah 10 kamar lagi,” ucap Yopi yang mempekerjakan 25 warga setempat. Apalagi, jumlah wisatawan domestik mulai mengimbangi jumlah turis asing.
Pengelola penginapan Sekar Kuning di Mandalika, Monty Ramlan (32), berharap, listrik terus mengalir ke kawasan wisata. ”Pemadaman listrik masih terjadi sebulan sekali. Biasanya sampai tiga jam. Tetapi, selalu ada pemberitahuan. Jadi, pemadaman bergilir tidak mengganggu operasionalisasi,” ujarnya.
Jika pasokan listrik terjamin lancar, pariwisata NTB pun diyakini menggeliat. Badan Pusat Statistik NTB mencatat, jumlah wisatawan pada 2016 sekitar 3 juta orang, meningkat dibandingkan 2011 yang 887.000 orang. Di Mandalika, setidaknya tiga hotel megah dalam tahap pembangunan. Anekdot ”nasib tergantung Bali” perlahan bisa ditepis.
Apalagi, akses menuju destinasi wisata seperti Mandalika dan tiga gili nyaris tak ada hambatan. Jalannya beraspal mulus. Dari Bandara Internasional Lombok hanya dibutuhkan 30 menit menuju Mandalika.
General Manajer PLN Wilayah NTB Mukhtar mengatakan, pihaknya telah mengoperasikan gardu induk (GI) di Kuta berkapasitas 30 megavolt ampere (MVA) untuk mendukung pariwisata NTB, seperti KEK Mandalika. Saat ini, baru 3,2 MW yang digunakan saat beban puncak. Sementara kapasitas GI Kuta bisa mencapai 120 MVA. Adapun kebutuhan KEK Mandalika pada 2020 diprediksi sekitar 24 MW.
PLN Wilayah NTB mencatat, daya kelistrikan di sistem Lombok mencapai 312 MW. Sementara beban puncaknya sekitar 230 MW. Artinya, saat penggunaan listrik memuncak, PLN masih mampu memasok listrik.
”Jauh atau dekat daerahnya, kami komitmen memasok listrik,” ucap Mukhtar. Untuk bisnis, termasuk perhotelan, penggunaan listrik mencapai 21 persen, terbanyak kedua setelah rumah tangga 64 persen. Ke depannya, pihaknya akan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mesin, Gas, dan Uap (PLTMGU) Lombok Peaker berkapasitas 150 MW yang beroperasi 2019.
Di Sumbawa, daya mampu pembangkit mencapai 55 MW dengan beban puncak 43 MW. Pasokan listrik perlahan membaik. ”Sekarang, ada jaminan dari PLN soal listrik. Makanya, kami berani undang investor di sektor pariwisata,” kata Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan Pariwisata Sumbawa Junaidi.
PLN juga tengah membangun PLTMG Sumbawa dan Bima dengan kapasitas masing-masing 50 MW dan ditargetkan beroperasi akhir 2018. ”Ketersediaan listrik akan menggairahkan investasi di sektor pariwisata. Jika tidak segera dibangun, kesan disparitas antara Lombok dan Sumbawa akan selalu ada,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumbawa Barat Gusti Bagus Sumbawanto.
Pemprov NTB menargetkan 4 juta wisatawan tahun ini. Berbagai acara digelar, seperti lomba lari 320 kilometer Tambora Challenge 2018 pada April ini. Tanpa pasokan listrik, target itu mustahil dicapai. Sayang jika pasir putih dan tebing menawan di NTB dilanda kegelapan.