Moeldoko: KPI Harus Berani Bersuara, Jaga Keutuhan NKRI
Oleh
pascal s bin saju
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko menegaskan, Komisi Penyiaran Indonesia, baik di pusat maupun di daerah, dapat menjadi pahlawan dalam mengawal perubahan di era Revolusi Industri 4.0.
”Untuk bisa menjadi pahlawan, syaratnya harus menjadi pemberani. Berani bersuara dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, menghadapi dunia yang berubah sangat cepat, kompleks, dan penuh risiko,” kata Moeldoko, seperti disampaikan Alois Wisnuhadana, Tenaga Ahli Madya di Kantor Kepala Staf Kepresidenan, Senin (2/4/2018).
Moeldoko berbicara dalam seminar utama menyambut Hari Penyiaran Nasional bertajuk ”Menjaga Keutuhan NKRI Melalui Dunia Penyiaran yang Sehat dan Berkualitas” di Palu, Sulawesi Tengah, Senin (2/4/2018).
Menurut Wisnu, sapaan akrab Alois Wisnuhadana, seminar tersebut dihadiri komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan ratusan anggota KPI daerah dari seluruh Indonesia.
Hadir sebagai narasumber, selain Moeldoko, adalah Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Wakil Ketua Komisi I DPR Asril Tanjung, dan pakar hukum tata negara Prof Dr Jimly Asshiddiqie.
Moeldoko mengatakan, sekarang dini masyarakat sering diombang-ambingkan oleh informasi yang simpang siur dan tidak benar.
Contohnya, sering kali pemerintah dituding hanya membangun fisik, membangun infrastruktur. Padahal, jika dipahami lebih jauh, dalam pembangunan fisik dan infrastruktur terkandung upaya membangun konektivitas, membangun mentalitas masyarakat dan peradaban manusia.
”Jika hanya memperhitungkan aspek politik atau ekonomi, pembangunan hanya akan bertumpu di Pulau Jawa. Kebijakan seperti itulah yang membedakan politisi dan negarawan,” kata mantan Panglima TNI tersebut.
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan, ”Penyiaran yang sehat hanya bisa diwujudkan jika industrinya sehat. Bisnisnya harus berjalan baik dan berkualitas.”
Menurut catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika, kata Rudiantara, ada 2.673 izin yang sudah beroperasi.
”Sekitar 1.100 adalah izin siaran televisi dan sekitar 1.600 izin radio, termasuk LPP dan LPK. Pemerintah sekarang ini memberlakukan moratorium izin baru karena kita peduli dengan keberlangsungan industri penyiaran yang sudah ada. Pemerintah bertugas untuk membina supaya industrinya dapat berkelanjutan,” kata Rudiantara.
Rudiantara juga menambahkan, industri penyiaran sekarang sedang menuju ke arah digital dan potensinya luar biasa besar.
”Nilainya sekitar 39,9 miliar dollar AS atau sekitar Rp 500 triliun dalam tujuh tahun ke depan. Selain itu, juga akan terbuka lapangan pekerjaan baru, peningkatan pajak dari industri penyiaran digital. Ada lebih kurang 230.000 lapangan kerja baru dari industri penyiaran digital ini,” katanya.
Jimly mengatakan, UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 itu lahir dengan penuh kontroversi.
”Ini adalah salah satu UU yang tidak diteken oleh presiden pada waktu itu. Kenapa tidak diteken, sumber masalahnya ada pada ketidaksukaan industri penyiaran terhadap UU ini. UU itu itu memiliki kelemahan di mana fungsi regulator yang seharusnya diemban oleh KPI menjadi lemah,” ujar mantan Ketua MK itu.
Jimly menambahkan bahwa sekarang ini terdapat tiga pasar bebas yang sudah mendunia. Pertama bisnis pasar bebas. Di Indonesia terdapat KPPU yang berfungsi mengendalikan pasar yang bebas tersebut.
”KPPU diperlukan oleh negara untuk mengendalikan bisnis pasar bebas,” katanya.
Kedua, politik pasar bebas. Mulai dari presiden sampai dengan kepala desa menjadi komoditas yang diperebutkan.
”Artinya, jabatan politik itu diperebutkan. Itu perlu dikendalikan sehingga KPU dan Bawaslu menjadi dibutuhkan,” kata Jimly.
Ketiga adalah media pasar bebas. Pasar itulah yang seharusnya dikendalikan oleh KPI. Oleh karena itu, keberadaan KPI tersebut harus diperkuat.
Dalam kesempatan yang sama, anggota DPR, Asril Tanjung, memperkuat pendapat tersebut. Ia mengatakan, ”Di negara demokratis mana pun, media penyiaran senantiasa diatur oleh hukum. Media penyiaran memiliki regulasi ketat dibandingkan media cetak. Namun, regulasi tersebut juga diharapkan bersifat demokratis bagi setiap pemangku kepentingan.”
Di awal seminar, Ketua KPI Yuliandree Darwis menjelaskan bahwa perubahan teknologi dan komunikasi telah mengubah cara masyarakat mengonsumsi informasi yang telah mengubah cara kehidupan berbangsa.
Penyiaran Indonesia masih meninggalkan pekerjaan rumah terkait revisi Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002, status anggaran, dan sebagainya.
”Di sisi lain, ujaran kebencian, siaran yang berorientasi rating menjadi dewa, juga masih menjadi pekerjaan rumah penyiaran kita. Kita tidak bisa menyalahkan industri. Juga tidak bisa saling menyalahkan, tetapi kita harus mencari solusi bersama,” kata Yuliandree. (*)