Agar Laris, Penjual Cilok Ajak Anak SD Tonton Video Porno
Oleh
Megandika Wicaksono
·2 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Hasanudin alias Japra (36) penjual cilok di sekitar SD Pasir Wetan, Kecamatan Karanglewas, Kabupaten Banyumas, dibekuk jajaran Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Banyumas, Jawa Tengah. Agar cilok dagangannya laris, Hasanudin memberi iming-iming tontonan video porno kepada anak-anak SD.
”Pedagang mempertontonkan film pornografi kepada anak SD supaya tertarik untuk datang kembali,” kata Wakil Kepala Polres Banyumas Komisaris Malpa Malacoppo, Jumat (6/4/2018), di Purwokerto, Banyumas.
Malpa menyampaikan, Hasanudin ditangkap pada Kamis (5/4). Dari tangannya, polisi menyita gerobak dagangan cilok dan sebuah telepon seluler. Hasanudin dikenai Pasal 37 juncto Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. ”Ancamannya 4 tahun untuk Pasal 32, tetapi ada pemberatan di Pasal 37, ditambah sepertiga. Jadi, ancaman hukumannya di atas 5 tahun penjara,” ujar Malpa.
Dari penyelidikan, kata Malpa, tersangka menjual cilok di sekitar SD Pasir Wetan selama dua minggu. Ada tiga anak kelas IV SD yang dimintai keterangan atas tindakan Hasanudin tersebut. ”Dia sudah menikah dan memiliki dua anak,” ujar Malpa.
Tersangka Hasanudin mengatakan, dirinya mendapatkan video porno dari kiriman temannya. Ide menarik pembeli dengan mempertontonkan video porno itu bertujuan agar ciloknya laris. Cilok adalah jajanan seperti bakso yang terbuat dari campuran tepung kanji dan terigu. Teksturnya kenyal. Cilok juga merupakan singkatan dari aci yang dicolok. Menurut Hasanudin, harga ciloknya Rp 500 per butir.
Secara terpisah, dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Sudirman, Purwokerto, FX Wardiyono menilai fenomena tersebut adalah dampak perkembangan kebudayaan materiil yang lebih cepat daripada kebudayaan imateriil.
”Perkembangan teknologi atau kebudayaan materiil tidak bisa diimbangi dengan perkembangan norma dalam masyarakat. Dilihat sepintas seperti hanya motif ekonomi, yaitu sebagai sarana menjaring konsumen. Tetapi dampak lebih jauh adalah pengaruh terhadap perkembangan anak. Mau tidak mau anak mengetahui apa yang sebenarnya belum saatnya untuk diketahui,” ujarnya.
Menurut Wardiyono, orangtua seharusnya tidak boleh melepas bebas anak, pengawasan ataupun kontrol dengan pihak sekolah secara sinergi perlu dilakukan. ”Sekolah-sekolah di kota biasanya pengawasan terhadap pedagang keliling sudah cukup bagus, yaitu melarang berjualan di sekitar sekolah. Nah, sekolah-sekolah yang ada di pinggiran, pedagang masih bebas berjualan dan tanpa pengawasan,” katanya.