Badai cedera mulai mengincar para pelari Lintas Sumbawa 320 pada hari kedua, Kamis (5/4/2018). Di balik itu, hadir para pendukung yang setia melayani para pelari agar selalu dalam kondisi puncaknya. Mereka adalah tim perawat, fisioterapis, dan penyuplai makanan.
Lomba Lari Lintas Sumbawa 320 Kilometer memang sangar. Terik matahari, angin malam, dan hujan deras menerpa pelari. Sembilan dari 27 pelari full ultra (individu) dan 10 pelari relay (estafet) hingga Kamis pukul 19.00 Wita bertumbangan dalam lomba lari terjauh di Asia Tenggara itu.
Di tengah sangarnya jalur itu, panitia memiliki tim pendukung yang bersiaga di check point (CP) dan stasiun pengisian logistik sejak pagi hingga pagi lagi. Tanpa sungkan, tim pendukung memberikan layanan terbaik.
Syifa Aulia (21), misalnya. Perempuan asal Jakarta itu merupakan 1 dari 13 fisioterapis dari Maha Psio yang tergabung dalam tim pendukung Lintas Sumbawa. Kapan saja ia siap melayani pelari yang butuh terapi. Terjaga hingga larut malam bukan masalah. Dari mengulur otot pelari hingga memasang perban di kaki pelari yang melepuh, semua dikerjakan.
Seperti pada Kamis pukul 01.30-09.00, di CP 2, Desa Empan, Kecamatan Labuan Badas, Kabupaten Sumbawa, NTB, Syifa menangani delapan pelari yang mengalami cedera otot di betis, paha, dan bahu. Setiap pelari mendapatkan terapi lebih kurang 15 menit.
Namun, tak jarang beberapa pelari minta waktu ekstra. Pelari juga mencari fisioterapis, CP, dan stasiun pengisian logistik, seperti hotel, bagi pelari. Kedatangan mereka disebut check-in dan check-out saat pergi.
”Namanya sudah tugas, kita harus kerja total,” tegas perempuan berjilbab itu tanpa cemberut. Ini berbeda dengan aktivitasnya di klinik fisioterapi di Kuningan, Jakarta, yang terjadwal pukul 11.00-19.00 dengan jumlah pasien 2-3 orang per hari. ”Saya sangat senang bisa bertugas di lomba ini dengan keindahan Sumbawa,” ujarnya.
Pengalaman berharga
Miftah Fauzan (24) rela meninggalkan tempat praktiknya di Kota Mataram untuk ikut menjaga kondisi pelari. ”Saya enggak perhatikan honornya. tetapi ini pengalaman berharga,” ujar Miftah, yang lahir di Dompu, NTB.
Petugas mobil penyedia minuman dan makanan di Lintas Sumbawa juga jadi ”incaran” pelari. Nurkomalasari (33) tak kenal waktu bekerja. Ia bertugas sesuai waktu pelari berlari, 4-8 jam sebelum sampai ke CP. ”Saya senang di sini, bisa begadang dengan teman-teman,” ucapnya.
Tujuh petugas Polsek Rhee juga tak tidur. Mereka mengawal pelari dari CP 2 pada Rabu pukul 20.00 hingga CP 3 pada Kamis pukul 08.00. Jaraknya, 40 kilometer. Mereka menjaga pelari yang melintasi kawasan hutan serta sejumlah tikungan di pinggir jurang, dasarnya langsung ke laut.
Menurut Kapolsek Rhee Inspektur Satu I Wayan Sada Switra yang ikut mengawal pelari, kesulitan utama tugas itu adalah jenuh. Sebab, mereka harus jalan pelan guna menggiring para pelari dari belakang. Kecepatannya hanya sekitar 1 kilometer per 7-8 menit. Sebanyak 130 personel Polres Sumbawa disiagakan mengawal pelari.
Pimpinan sementara full ultra putra, Oktavianus Quaasalmy (34), hingga Km 160 mengatakan, peran tim pendukung sangat penting, terutama para fisioterapis. Tanpa mereka, rasa nyeri ketika otot tegang akibat lari ratusan kilometer sulit teratasi. ”Lewat terapi, otot-otot yang sudah keras ini bisa jadi enak lagi walau tidak benar-benar pulih 100 persen,” ujarnya.