Lorong Waktu di ”Kota Candu”
Sejarah menjadi daya tarik utama pecinan di Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Distrik seluas sekitar 60 hektar itu melingkupi lima desa—Soditan, Babagan, Gedongmulyo, Karangturi, dan Sumbergirang. Pecinan Lasem pernah menjadi tempat penyelundupan candu (opium) terbesar di Hindia Belanda.
Jejak penyelundupan candu tersimpan di balik kemegahan rumah-rumah kuno di Lasem. Bekas rumah candu paling tersohor bernama Lawang Ombo. Di rumah kuno berarsitektur China dengan atap bergaya ekor walet itu terdapat sebuah lubang berdiameter sekitar 50 sentimeter (cm). Lubang untuk menyelundupkan candu itu diyakini terhubung dengan jalan bawah tanah ke Sungai Lasem.
Pemilik Lawang Ombo bernama Tjoo Boen Hong (55), dikenal juga sebagai Soebagio Soekidjan. Dia adalah cucu luar keturunan Lim Cui Sun dari generasi keempat. Menurut keterangan di batu kubur (bong), Lim Cui Sun adalah pejabat rendah asal China bergelar dengshilang. Ia meninggal dunia tahun 1827.
Rumah megah yang dulu milik Lim Hong Hoen, pesohor Lasem keturunan Lim Cui Sun, juga pernah menjadi tempat penyelundupan candu. Dari penuturan warga, terdapat lubang candu di halaman belakang rumah, tetapi kini lubang itu tertutup semak dan terendam air hujan. Rumah dengan pilar-pilar besar itu sekarang difungsikan sebagai Kantor Polisi Sektor Lasem.
Julukan Lasem sebagai ”Corong Candu” mengemuka ketika bisnis ilegal itu menggurita di pesisir utara Jawa awal abad ke-19. Bisnis candu digeluti orang-orang yang berafiliasi dengan serikat rahasia China di Hindia Belanda. Narasi panjang perdagangan candu di Lasem, Rembang, dan Juwana terabadikan dalam manuskrip-manuskrip kuno bertulis aksara Han (Mandarin klasik).
Keberadaan serikat rahasia China di pesisir utara Jawa pernah ditulis Agni Malagina, peneliti pecinan Nusantara dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
”Berburu” manuskrip kuno
Eksotisme pecinan Lasem dalam tiga tahun terakhir kian terpancar. Akademisi, peneliti, jurnalis, hingga pencinta fotografi tak puas datang sekali. Selain memotret, penelusuran manuskrip kuno jadi salah satu aktivitas menarik. Di pecinan Lasem ada sekitar 200 rumah Tionghoa kuno yang menyimpan manuskrip turun-temurun.
Manuskrip kuno terbaru ditemukan Agni di rumah Rudi Siswanto (36), generasi ke-6 dari keluarga Tjan Liong Khoen di Desa Babagan. Manuskrip itu sebuah roman berjudul Sumpah Kuang Kong di Taman Buah Plum karya Luo Guan Zhong. Roman mengisahkan janji saudara setia, sehidup semati antara Kuang Kong, Liu Bei, dan Zhang Fei (Three Kingdoms).
Di Lasem, pengunjung masih bisa menemukan rumah-rumah tua yang pemiliknya dulu berafiliasi dengan serikat rahasia China. Rumah mereka memajang lukisan Kuang Kong di altar sembahyang atau tersemat jimat di atas pintu. Namun, adanya serikat rahasia China menyisakan misteri karena narasi tidak diwarisi keturunan mereka yang tinggal di Lasem.
”Triad China di Hindia Belanda sangat terkenal di pantai utara Jawa, tetapi keberadaan mereka sulit digali. Tulisan saya sempat menimbulkan pro dan kontra. Namun, saya tidak mengarang. Saya dapat naskah kuno dari Perpustakaan Nasional dan peninggalan mereka di Lasem dan Rembang,” kata Agni, Sabtu (10/3/2018).
Masa keemasan Lasem sebagai pusat perdagangan candu di Jawa usai setelah pemerintah Hindia Belanda mengambil hak monopoli perdagangan candu lewat Regi Opium Hindia Belanda tahun 1894. Orang-orang kaya di Lasem memutar haluan bisnis dengan membangun pabrik garam, membuat kapal, kuningan, dan batik tulis.
Akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, bisnis batik tulis Lasem menggeliat hingga ekspor besar-besaran ke Singapura dan Sri Lanka. Industri batik tulis Lasem di atas angin pada tahun 1970 dengan 144 rumah batik.
Geliat wisata
Perjalanan menuju Lasem ditempuh sekitar 2,5 jam-3 jam dari Kota Semarang menggunakan bus patas. Pecinan Lasem terbelah Jalan Raya Pos yang dibangun masa pemerintahan Daendels. Dalam tiga tahun terakhir, sejumlah bangunan Tionghoa kuno yang dulu terabaikan kini berubah menjadi destinasi wisata.
Pilihan destinasi wisata di pecinan Lasem antara lain Museum Nyah Lasem, Rumah Merah Tiongkok Kecil Heritage, Rumah Kuning, Lawang Ombo, Omah Londo, Restoran Hokkie, Pondok Pesantren Kauman, Masjid Agung Kauman, dan Kelenteng Cu An Kiong.
Rumah batik kuno peranakan Tionghoa yang masih bertahan antara lain rumah batik Bu Kiok, Maranatha, Sekar Kentjana, dan Kidang Mas.
Toleransi mengakar di Lasem sejak ratusan tahun lalu. Pondok Pesantren Kauman tumbuh di tengah kompleks permukiman warga Tionghoa di Desa Karangturi. Pesantren didirikan tahun 2003 oleh KH Zaim Ahmad yang akrab dipanggil Gus Zaim. Uniknya, bangunan pesantren ini berlanggam arsitektur perpaduan China, Arab, dan Jawa.
Baskoro Darmawan yang akrab disapa Pop, pegiat wisata #Discoverlasem, mengatakan, pihaknya menyediakan berbagai paket wisata menyusuri kawasan pecinan. Harga paket 2 hari 1 malam berkisar Rp 900.000-Rp 1,2 juta per orang, termasuk makan, penginapan heritage, dan antar-jemput Semarang-Lasem.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Rembang Dwi Purwanto menambahkan, pemerintah setempat sedang menyusun Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) pecinan Lasem. RTBL ditargetkan selesai tahun ini agar potensi wisata bisa digarap maksimal.