Hapus Mitos Sulit Air, Ikat Korporasi
Selama puluhan tahun, desa di pinggiran batas Kota Salatiga, Jawa Tengah, itu hanya ada satu sumur. Dalamnya sudah 37 meter, tetapi hanya mampu memenuhi kebutuhan air satu keluarga. ”Sehari itu dulu airnya cuma sekitar 300 liter. Pagi diambil, lalu harus nunggu lagi sampai sore baru bisa diambil lagi,” kata pemilik sumur yang juga perangkat Desa Patemon, Sukimin Budhiono (45), Senin (19/3/2018).
Sebelum 2016, perjuangan mencari air bersih mewarnai kehidupan desa itu. Pada 2012, kekeringan melanda desa berhawa sejuk tersebut. Warga desa yang saat ini berjumlah 1.392 keluarga itu pun kerap meminta bantuan air ke Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Salatiga sebagai PDAM terdekat dari desa itu. Pada musim kemarau tahun itu, bisa 6-7 tangki air yang didatangkan habis dalam sehari untuk keperluan 10 dusun.
Salah seorang tokoh Desa Patemon, Joko Waluyo (59), mengisahkan, dulu sumber air Patemon dari mata air di daerah Ngguwo. Air disalurkan dengan panjang selang 4.430 meter atau hampir 4,5 kilometer.
Namun, seiring bertambahnya warga dan desa-desa lain yang turut membutuhkan air dari Ngguwo, orang-orang mulai berebut air. Sementara debit air mata air Ngguwo pun tak bertambah, bahkan mungkin menyusut. Hingga puncaknya pada kekeringan tahun 2012 itu.
Tidak hanya itu, ancaman pun datang dari makin banyaknya korporasi yang membangun pabrik di sekitar Patemon. Lahan-lahan kebun dibeton menjadi kompleks pabrik sehingga mengurangi tangkapan air, bahkan pabrik-pabrik itu juga membuat sumur artesis yang menyedot air bawah tanah sehingga cadangan air semakin berkurang.
Berbagai kondisi ini membuat Joko dan para tetangganya menyambut program sumur resapan pada 2014 yang ditawarkan Program USAID Indonesia Urban Water, Sanitation, and Hygiene Penyehatan Lingkungan untuk Semua (Iuwash PLUS) bekerja sama dengan Coca Cola Foundation Indonesia.
Di Kabupaten Semarang, pelaksanaan program ini bekerja sama dengan serikat petani setempat yang namanya memang sudah harum dalam pengaturan air Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thoyyibah (SPPQT). Program yang didukung dana Rp 1 juta dollar Amerika Serikat (AS) untuk seluruh Indonesia ini bertujuan agar warga bersedia menyediakan pekarangannya untuk menjadi sumur resapan.
Pada 2014 itu, Joko memulainya dengan dua sumur resapan, setiap sumur berukuran 2 x 2 x 2 meter kubik bersama beberapa tetangga lainnya hingga berjumlah 296 sumur resapan. Fungsinya adalah untuk menabung air hujan dan mengembalikan air ke bumi.
Awalnya, banyak warga enggan karena belum ada keuntungan yang mereka rasakan. Namun, lambat laun, perubahan besar terjadi di desa itu. Puncaknya pada 2016, sumur Sukimin menjadi berlimpah air. Sumur yang awalnya cuma seadanya keluar air itu sekarang memenuhi kebutuhan 20 keluarga. ”Sumur saya mulai berair banyak ini karena di kanan kiri, tetangga saya, bangun sumur resapan. Jadi, saya dapat air dari mereka, dan sekarang mengembalikan air ke mereka,” katanya.
Program Iuwash PLUS itu hanya menjadi pemicu saja. Desa Patemon terus mengembangkannya hingga sekarang sudah ada 320 sumur resapan di sana. Mereka membakukan pembangunan sumur resapan dalam rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJMDes) hingga akhirnya menelurkan peraturan desa tentang kewajiban sumur resapan.
Ikat korporasi
Peraturan Desa (Perdes) Patemon Nomor 3 Tahun 2015 mewajibkan semua warga desa yang punya bangunan di sana membuat sumur resapan atau biopori sesuai keluasan lahannya. Dahsyatnya, korporasi-korporasi di desa itu juga diwajibkan membangun sumur resapan di wilayah Desa Patemon tiap tahun sesuai kapasitas sumur dalam yang mereka miliki.
Kepala Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Patemon Kabul Budiono menjelaskan, perancangan perdes itu tujuan utamanya memang untuk menuntut pertanggungjawaban korporasi yang mengambil air tanah di desa mereka.
”Kami beranggapan semua pabrik itu mengambil air semaunya, dia tak pernah mempertanggungjawabkannya kepada warga. Sekarang mereka kena perdes semua,” katanya.
Ada tiga pabrik di Desa Patemon, ketiganya sudah terkena kewajiban membangun sumur resapan. Aturannya, per satu sumur artesis, mereka harus membangun 20 meter kubik sumur resapan setiap tahun. Tahun ini ada dua sumur resapan dibangun dari kewajiban pabrik itu.
Tak hanya itu, Desa Patemon juga menganggarkan pembangunan dua sumur resapan
dari dana desa yang jumlahnya Rp 12 juta setahun ditambah biaya perawatan sumur resapan Rp 50.000 per sumur.
Tahun ini sudah ada 320 sumur resapan di Desa Patemon. Jumlah tersebut masih jauh dari target mereka, yaitu semua keluarga mempunyai sumur resapan.
Rentan krisis air
Program Iuwash PLUS sebenarnya bertujuan mencegah krisis air di Salatiga dan sekitarnya. Terutama karena terus turunnya debit mata air di mata air Senjoyo di Kecamatan Tengaran yang menjadi sumber air utama kota itu. Mereka menargetkan pembangunan sumur resapan di enam desa yang merupakan daerah tangkapan air mata air Senjoyo, yaitu di Patemon, Noborejo, Gogik, Candirejo, Butuh, dan Jetak. Jumlahnya sekarang 1.060 sumur resapan.
Seiring dengan pembangunan sumur resapan itu, debit mata air Senjoyo naik pada 2017 setelah sebelumnya terus mengalami penurunan. Menurut data PDAM Kota Salatiga, kenaikan debit mata air Senjoyo yang terletak di Desa Tegalwaton, Tengaran, Kabupaten Semarang, itu tercatat terjadi sepanjang 2017 menjadi 1.100 liter per detik.
Padahal, pada pengukuran 2008, debit mata air Senjoyo tinggal 838 liter per detik atau turun dari pengukuran tahun 1995 sebanyak 1.115 liter per detik.
Peneliti air mentah Iuwash PLUS, Asep Mulyana, mengatakan, Salatiga dan sekitarnya rentan krisis air tanah sebab banyaknya alih fungsi lahan dan pembangunan pabrik di sekitar daerah tangkapan air. Bahkan, menurut penelitiannya, sekitar tahun 2011-2014, ada kawasan di daerah pabrik mengalami penurunan muka air tanah mencapai 4 meter per tahun. ”Kalau tak ada antisipasi dilakukan, Salatiga akan krisis air mulai sekitar 2025,” katanya.
Dewan Pembina SPPQT Bahruddin mengatakan, krisis air mulai dirasakan petani sekitar Salatiga sejak dekade 1990-an. Rebutan air terjadi sehingga berbuntut pada perseteruan hingga perkelahian. Untuk itu, paguyuban petani ini salah satunya bertujuan mengelola air secara lestari.
Ironis, sebab selama ini Salatiga dikenal sebagai daerah menara air. Padahal, ancaman krisis air sebenarnya sudah di ambang mata. Kota ini juga belum mempunyai peraturan daerah untuk konservasi air.
Direktur PDAM Kota Salatiga Samino mengatakan, pihaknya sudah menginisiasi pembuatan peraturan daerah guna mendorong warga membuat sumur resapan atau biopori.
Warga Desa Patemon tak pernah merasakan air dari mata air Senjoyo itu karena letak desa berada lebih tinggi dari mata air tersebut. Namun, mereka tak terlalu menghitung untung dan rugi untuk orang lain karena pembangunan sumur resapan mereka nilai sebagai amal baik dan warisan anak cucu. Mereka hanya berharap, warga kota yang menikmati air Senjoyo tidak berpangku tangan menikmati air tanpa tanggung jawab mengembalikannya ke bumi.