PULANG PISAU, KOMPAS — Warga di enam kecamatan di Kabupaten Pulang Pisau didorong untuk mengenal tata ruang wilayah melalui pemetaan partisipatif. Pasalnya, karut-marut tata ruang dinilai menjadi salah satu sumber konflik di Kalimantan Tengah.
Manajer Program Desa Peduli Gambut (DPG) dari Lembaga Kemitraan Hasantoha Adnan mengatakan, pemetaan partisipatif tersebut nanti akan dimasukkan dalam profil desa. Tujuannya, agar masyarakat memahami kondisi gambut, batas wilayah desa, dan potensi desanya masing-masing.
”Profil desa ini akan diserahkan kepada desa sebagai aset mereka sehingga ada rasa kepemilikan bersama yang kuat bagi masyarakat, apalagi yang buat adalah mereka sendiri. Kami hanya mendampingi,” ujar Adnan di Pulang Pisau, Senin (9/4/2018).
Lembaga Kemitraan mendapatkan mandat dari Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk melakukan pendampingan pada desa-desa target restorasi. Terdapat 46 desa dengan 46 fasilitator atau pendamping desa dari enam kecamatan di Pulang Pisau yang mengikuti kegiatan tersebut.
Pendamping desa, tambah Adnan, juga bertugas menyiapkan tenaga enumerator atau pengumpul data dari tiap desa. Terdapat 92 enumerator yang diberikan pembekalan untuk mengumpulkan data terkait dengan tata ruang dan wilayah di desanya.
Salah satu instruktur pemetaan wilayah dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Ahde Ihsan, mengatakan, pemetaan partisipatif bukan hanya soal membuat peta, tetapi juga soal membangun kesadaran masyarakat terhadap ruang hidupnya.
”Dengan begini, kami berharap hak ruang hidup masyarakat dapat terjamin. Karena mereka juga memetakan potensi wilayahnya,” kata Ahde.
Karut-marut
Di Kabupaten Pulang Pisau, rencana tata ruang dan wilayah kabupaten masih dibahas pemerintah daerah. Akibatnya, dalam pemetaan partisipatif ditemukan banyak kendala, seperti Desa Sebangau Kuala yang masuk dalam wilayah konservasi Taman Nasional Sebangau atau batas desa yang hilang karena alih fungsi lahan menjadi perkebunan.
Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kalteng tahun 2017, terdapat 1,7 juta hektar lahan konsesi dari 160 perusahaan perkebunan yang sudah beroperasi. Dari total luas itu, sebesar 850.000 hektar belum memiliki sertifikat hak guna usaha (HGU) dan masih berstatus kawasan hutan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Tengah Dimas Novian Hartono mengungkapkan, tata ruang menjadi salah satu penyebab konflik agraria. Banyak izin konsesi yang diberikan di lahan garapan masyarakat atau bahkan hutan lindung.
”Karut-marutnya tata ruang bisa memperkeruh suasana dengan menempatkan fungsi kawasan yang peruntukannya sebagai kawasan hutan. Parahnya, itu dilakukan tanpa sosialisasi kepada warga,” ujar Dimas.
Direktur Jenderal Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Medrilzam mengatakan, saat ini pihaknya sedang menyusun one map one policy, yang isinya akan mengungkap masalah tata ruang sampai pada perizinan. Menurut dia, masih banyak perkebunan yang belum jelas kepemilikannya.
”Untuk mengumpulkan informasi soal tata ruang itu tidak mudah, kami tanya ke daerah susah juga ternyata. Masalah tata ruang harus dilihat dari kasus per kasus karena ini bicara kepemilikan,” kata Medrilzam. (IDO)