Petuah-petuah Pengujung Malam
”Kami bertemu dengan orang yang kena siksa api neraka, dirantai dan dipalu. Mereka minta tolong. Memohon ampun….” Kisah itu dibacakan Marsini (55) di Lingkungan Geguntur, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, saat hari mulai berganti.
Marsini membacakan kisah yang termuat dalam kitab Kifayatul Muhtaj. Ini riwayat perjalanan Nabi Muhammad SAW bersama Malaikat Jibril dari langit pertama hingga langit ke tujuh, Sidratul Muntaha, untuk menerima perintah shalat lima waktu.
Membaca hikayat Rasul dalam bahasa Sasak, Lombok, disebut bekayat atau nyaer (syair) menjadi tradisi menjelang dan puncak peringatan Isra Miraj 27 Rajab tahun Hijriah. Kitab riwayat Rasul yang beraksara Arab dan berbahasa Melayu itu dibaca Marsini, Mahsun (75) sebagai penerjemah, dan H Husni (63) sebagai penyokong. Mereka kadang berganti posisi dengan Mahsun (50) dan M Syafi’i.
Mereka membaca dengan melantunkan kalimat demi kalimat dan penyokong menyambutnya pada akhir kalimat dengan napas panjang. Suara mereka yang saling bersahutan terdengar sayup-sayup melalui pengeras suara yang terpasang di atas bambu setinggi 10 meter.
Suara itu merayap, melintasi perumahan padat sekaligus hamparan sawah. Tidak ada yang protes dengan suara itu meski Rabu (28/3/2018) nyaris berganti. Sesekali penonton mengangguk-anggukkan kepala sembari memejamkan mata. Bahkan, tak jarang di antara mereka secara bersama ikut melantunkan beberapa kata dari syair yang dibacakan bak paduan suara.
Apalagi, saat Mahsun bertanya kepada Marsini. ”Maka, hamba bertanya, apa yang ia lakukan sehingga kena siksa?” katanya. Marsini lalu menjelaskan jawaban Malaikat Jibril, ”Itulah balasan bagi mereka yang kerap ingkar janji. Lain di mulut, lain di hati”.
”Mereka ini seperti HP (handphone) yang error. Tidak bisa lagi dipakai (percaya),” Mahsun menimpali. Tawa penonton pun pecah. Apalagi, saat Mahsun menunjukkan mimik lucu dengan kepala geser kanan dan kiri, seperti HP yang digoyang-goyangkan untuk mencari sinyal.
Apakah masa sekarang banyak yang ingkar janji? Meski percakapan itu berlangsung di atas langit, maknanya masih membumi. ”Ingkar janji itu salah satunya korupsi,” ucap Mahsun sambil geleng-geleng kepala.
Percakapan lain menceritakan orang-orang yang bibirnya sobek seperti pipa paralon. Apa yang mereka perbuat? ”Mereka adalah orang sombong,” ucap Mahsun.
Kisah lain bercerita tentang siksa api neraka karena melawan ibu. Begitu pula hukuman api neraka bagi provokator. Ada pula yang wajahnya menyerupai hewan (babi) karena minum dan makan sesuatu yang haram. ”Contohnya, narkoba,” ucapnya.
Masih diminati
Kisah Nabi Muhammad SAW yang mungkin sudah jarang diceritakan orangtua kepada anaknya itu membuat penonton enggan beranjak. Padahal, tradisi bekayat yang dimulai setelah Isya itu baru selesai saat Subuh. Menurut Mahsun, membaca hikayat selama itu belum sebanding dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW hingga ke Sidratul Muntaha.
Taufik (30), misalnya, memilih bertahan mendengarkan bekayat meski pagi-pagi ia harus dinas ke kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB. ”Saya banyak belajar dengan mendengar bekayat. Saya jadi takut minum minuman keras,” ujar Taufik yang mengaku mengikuti tradisi itu sejak kecil.
Selain Isra Miraj, Taufik juga kerap ikut bekayat saat ada tetangga yang meninggal dunia. ”Kisah yang diceritakan saat itu tentang perjalanan menuju kematian,” ujarnya.
Kapan tradisi bekayat lahir, belum ada catatan pasti. Tradisi ini erat kaitannya dengan agama Islam karena berisi dakwah. Tradisi ini hidup di perkotaan hingga perkampungan di Lombok. Para penyair dan penerjemah memastikan bahwa tradisi ini telah hidup lama.
”Tahun 1970-an, kami menggunakan lampu minyak untuk mengadakan bekayat. Ratusan orang berkumpul. Saat itu belum ada pengeras suara,” ujar Mahsun yang disepakati oleh Syafi’i. Jadi, meski hanya belasan warga yang datang saat itu, para tetangga juga tidak istirahat karena mendengar bekayat. Menjelang Isra Miraj, bekayat kerap digelar dari kampung ke kampung.
Keliling kampung
Mahsun bersama Syafi’i, Husni, dan Marsini boleh dibilang satu grup pelaksana tradisi bekayat. Mereka mampu membaca sekaligus menjadi penerjemah. Setidaknya, butuh waktu setahun untuk belajar.
Mereka berkeliling dari rumah ke masjid dari Baturinggit, Karangpule, Kota Mataram. ”Kami sudah tujuh hari keliling. Belum (cukup) tidur ini,” ucap Marsini.
Tidak ada tarif untuk melaksanakan bekayat. Jika punya rezeki, pengundang dapat bersedekah dengan menjamu tamu dan pembaca hikayat. ”Dikasih Rp 200.000 atau Rp 50.000 boleh. Ini dakwah untuk masyarakat dan diri sendiri,” ujar Marsini.
Di tengah masa materialistik dan penuh ”hitung-hitungan”, masih ada yang keliling kampung untuk berdakwah tanpa pamrih. Lantas, apakah tradisi ini bertahan? ”Di Geguntur masih ada 10 pembaca hikayat. Kami juga mempersiapkan sekitar 15 generasi baru,” ujar Mahsun.
Pemerhati budaya Lombok, M Yamin, dalam artikel di Kompas (2012) menuliskan, bekayat memiliki nilai ketauhidan, etika, dan moral yang relevan dengan kehidupan sosial dewasa ini. Nilai-nilai dalam cerita itu adalah energi penggerak bagi terjadinya sikap saling memberi, solidaritas sosial, dan interaksi sosial antarwarga. Bekayat juga menjadi media introspeksi diri umat.
Tidak percaya? Cobalah jalan ke kampung-kampung di Kota Mataram menjelang Isra Miraj. Untuk menemukan bekayat, cukup memasang telinga. Nanti bakal terdengar petuah-petuah di pengujung malam itu.
(Dimas W Nugraha/Abdullah Fikri Ashri/Khaerul Anwar)