Penyintas Sinabung Bisa Kehilangan Masa Depan
MEDAN, KOMPAS Para penyintas erupsi Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, berpotensi kehilangan masa depan. Hal itu disebabkan perekonomian merosot, tercerabut dari akar budaya, kesehatan tidak terpantau, hingga putus sekolah.
Proses rehabilitasi dan rekonstruksi perlu dibenahi. Meski Sinabung erupsi sejak tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Karo belum memiliki peraturan daerah tentang penanggulangan bencana.
Hal itu mengemuka dalam diskusi Kompas di Kantor Perwakilan Sumatera di Medan, Selasa (10/4/2018). Diskusi dihadiri para penyintas dan warga terdampak di lingkar Gunung Sinabung. Juga lima organisasi anggota Forum Advokasi Sinabung (FASI), yakni Yayasan Sheep, Yayasan Ate Keleng, Yapidi, Diakonia GBKP dan Bakumsu, serta wakil sejumlah media.
Direktur Yayasan Society for Health, Education, Environment, and Peace (Sheep) Indonesia Andreas Subiyono mengatakan, bencana letusan Gunung Sinabung yang terjadi lebih dari tujuh tahun telah menghantam kehidupan masyarakat lingkar Gunung Sinabung. Ekonomi keluarga mereka hancur, akar budayanya tercerabut, dan saat ini menghadapi ketidakjelasan rehabilitasi dan rekonstruksi.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karo, relokasi tahap pertama sudah dilakukan ke hunian tetap di Siosar untuk 370 keluarga. Relokasi tahap kedua bagi 1.682 keluarga sudah berjalan. Namun, jumlah relokasi tahap I dan II masih bertambah.
Adapun nasib 2.117 keluarga lain, termasuk 1.098 keluarga yang akan direlokasi tahap ketiga, belum jelas. Sebagian tinggal di hunian sementara, sebagian mendapat bantuan sewa rumah Rp 4,2 juta dan sewa ladang Rp 2,2 juta per tahun. Namun, belum diketahui sampai kapan bantuan berlangsung.
Ahmad Singarimbun (50), penyintas dari Desa Mardinding, mengatakan, warga menunggu relokasi tahap ketiga yang belum jelas kapan akan dilakukan. ”Belum ada penjelasan pemerintah,” ujarnya.
Andreas mengatakan, penyintas menghadapi keterpurukan lebih mendasar, yakni turunnya martabat keluarga akibat kemandirian tercabut, terutama karena perekonomian keluarga terpuruk. Hal ini dialami penyintas yang direlokasi ke hunian tetap, hunian sementara, atau ke rumah sewa bantuan pemerintah. Mereka yang sebelumnya memiliki lahan 1-5 hektar per keluarga kini hanya jadi buruh tani dengan upah Rp 70.000 per hari.
”Ini bukan sekadar apakah pendapatan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi bagaimana martabat mereka sebagai keluarga yang turun- temurun menjadi petani, tiba-tiba jadi buruh tani,” ujarnya..
Pemerintah sebenarnya sudah berupaya memberikan bantuan dengan membeli lahan atau menyewa lahan kepada penyintas. Namun, di lapangan, uang digunakan untuk keperluan lain karena tidak cukup untuk membeli atau menyewa lahan. Selain itu, tidak ada instrumen pengawasan untuk memastikan dana digunakan untuk membeli atau menyewa lahan.
Nasib warga zona aman
Ketua Komisi Penanggulangan Bencana GBKP Pendeta Dorman Sembiring Pandia mengatakan, dampak bencana Sinabung juga dirasakan warga di zona aman. Ladang warga sering rusak tertimbun abu vulkanik sehingga merugi. ”Mereka ini masuk kelompok yang kurang diperhatikan. Belum ada konsep penanganan bagi mereka,” ujarnya.
Sampai saat ini belum ada pemeriksaan secara komprehensif kesehatan warga terutama anak-anak akibat abu vulkanik. GBKP baru menjangkau pelayanan kesehatan 1.700 anak di tiga lokasi di lereng Sinabung. Hal itu dilakukan setelah menemukan seorang anak pendeta berumur 1,5 tahun terserang infeksi saluran pernapasan atas akibat abu vulkanik. Diperkirakan ada 12.000 anak di sekeliling Sinabung.
Koordinator FASI Lesma br Perangin-Angin mengatakan, meski bencana Sinabung sudah lebih dari tujuh tahun, hingga kini belum ada perda penanggulangan bencana Kabupaten Karo. Perda itu sangat penting sebagai instrumen penanganan bencana secara menyeluruh.
Pihaknya telah mengusulkan rancangan perda kepada Pemkab Karo. Perda sudah masuk ke program legislasi daerah tahun ini, tetapi berada di urutan ke-5. FASI juga berencana mengajukan gugatan warga negara (citizen law suit) kepada pemerintah atas lambannya penanganan bencana Sinabung. (NSA/WSI)