Bisikan bagi Sengkewe
Jauh sebelum kedatangan Belanda ke tanah Gayo tahun 1908, orang Gayo klasik telah mengakrabi minuman sengkewe. Sengkewe atau Siti Kewe berarti kupi alias kopi.
Sewaktu pertama kali menjejakkan kakinya ke tanah Gayo, penasihat pemerintah kolonial Belanda, C Snouck Hurgronje, menemukan kopi telah ditanam masyarakat setempat. Ia
menuliskan laporannya dalam buku berjudul Het Gajoland ez Zijne Bewoners. Buku itu diterjemahkan Hatta Hasan Asnah, 1996.
Hurgronje menyatakan keheranannya. Ia sebutkan dalam buku, di Gayo, hampir di mana-mana ia jumpai batang kopi. Dari mana asalnya tak seorang pun tahu. Tak seorang pun sepanjang ingatannya pernah menanam kopi. ”Mereka menganggapnya tanaman liar. Batang dan cabangnya digunakan untuk pagar kebun semata. Buah-buah kopinya dibiarkan saja dimakan burung,” katanya dalam buku itu.
Orang Gayo pun awalnya tidak tahu bahwa kopi bisa diolah menjadi minuman segar. Yang mereka tahu hanya memanggang daunnya. Itu diolah menjadi minuman teh. Baru belakangan mereka tahu bahwa buah kopi yang sudah dikupas dan dikeringkan bisa menghasilkan uang. Rasanya juga lebih enak daripada daunnya. Penjualan biji kopi baru berlangsung setelah Belanda masuk ke Aceh awal abad ke-20.
Warga Kampung Belang Gele, Kasim Aman Armia, mengatakan, kopi di Gayo sudah ada sebelum penjajah Belanda tiba. Disebut dalam buku Kopi dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Gayo terbitan Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh, 2012, kopi pertama kali dibawa oleh warga setelah beribadah haji di Mekkah. Warga setempat memanggilnya Aman Kawa. Ia warga Kampung Daling, Bebesan. Dari situlah kopi menyebar sebagai tanaman pembatas kebun atau rumah.
Setelah membangun Jalan Bireuen-Takengon, Belanda memperkenalkan kopi arabika ke Dataran Tinggi Gayo tahun 1924. Ditanam mulai Paya Tumpi, Rediness, Blang Gele, Bergendal, Burni Bius, dan Bandar Lampahan. Di Blang Gele, Belanda bersama pekerja asal Jawa membuka lahan 125 hektar. Perkebunan itu lalu dinamakan Wilhelmina Belang Gele. Belanda juga membangun dua pabrik pengolahan kopi di Bandar Lampahan, lengkap dengan perumahan bagi para pekerjanya. Sebagai hiburan bagi para pekerja di perkebunan kopi, digelar ketoprak dan dibuka lapak judi sebulan sekali.
Masa kelam
Berabad-abad menjalin ikatan, kisah kopi tak selalu indah. Bahkan, ada masa kelam yang memaksa petani tak bisa berkebun. Ketika Jepang menginjak tanah Gayo tahun 1942, Belanda angkat kaki. Saat itulah, kebun-kebun kopi mulai terbengkalai. Petani berada dalam tekanan berat.
Nasib petani Gayo memburuk. Bahkan, hingga Indonesia merdeka, konflik demi konflik terus berlanjut. Tahun 1950-an muncul gerakan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Konflik berlanjut dengan pemberontakan komunis. Memasuki tahun 1974 hingga 2005, konflik lain muncul. Kali ini, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI, benar-benar menciptakan ketakutan warga. Ancaman terjadi setiap saat membuat petani tidak berani ke kebun.
Hampir 30 tahun lamanya tanaman kopi terbengkalai. Bahkan, banyak petani menjadi korban konflik. Jenazah mereka dibuang di sekitar kebun. Harapan baru muncul setelah perjanjian damai antara GAM dan Pemerintah RI tahun 2005. Berlanjut pula dengan bencana tsunami Aceh. Bencana itu sungguh berdampak mengerikan di masyarakat. Tetapi, pada akhirnya, bencana menarik perhatian dunia tertuju pada Aceh. Infrastruktur pun dibenahi. Pertanian dan perkebunan kembali dikembangkan. Kopi kembali lekat dalam kehidupan orang Gayo.
Di kebun, petani bermantra dan bersenandung untuk kopinya. ”Ketika menanam ataupun memetik, senandung dinaikkan bagi tanaman,” kata Fikar W Eda, penyair kopi asal gayo.
Satu ketika ia mendengar seorang petani bersenandung dekat bunga kopi. Syairnya berbunyi ”Wahai Sengkewe/ kunikahkan engkau dengan angin/ air walimu/ tanah saksimu/ matahari saksi kalammu/ Rimbunlah daun/ maraklah buah/ kuatlah akar/ tegaplah batang/ jauhkan penyakit/ bangkitlah semangat”.
Kerap pula para penyair tradisi tutur ”didong” melantunkan syair-syair kopi, di antaranya mengenai tanam kopi, berbunyi: ”Dengar kisahku tentang kopi/ diriwayatkan sejak dahulu/ Menanam kopi begini/ Lalu kopi pun tumbuh cabang/ Diembus angin bergoyang/ Hati pun senang/ Begini hai panjang cabangnya/ Lalu kopi pun berbunga/ Mulai dekat dengan hasil/ Sungguh tak terkira/ Begini hai mekar bunganya/ Lalu kopi pun berbuah hijau/ Yang menanam mulai berangan-angan/ Telah sempurna”.
Ranumnya buah kopi menjadi citra kesempurnaan hidup petani Gayo. (Zulkarnaini/Irma Tambunan)