Pada Kopi, Selamanya Kami Bersandar
Kopi melekat dalam peradaban manusia Nusantara. Telah menjadi napas urang Gayo, atau getih (darah) yang mengaliri jiwa petani ”Pulau Dewata”. Bagi mereka, uang habis dalam setahun, tetapi kopi bisa bernilai seumur hidup.
Urang Gayo lahir dan besar dari kopi. Tamat sarjana, kawin, hingga naik haji pun dari kopi. Kebun kopi merupakan permata. Tabungan seumur hidup.
”Uang habis dalam setahun, tetapi kopi seumur hidup,” ujar Muzakkir, petani di Dataran Tinggi Gayo, Desa Bebesen, Kecamatan Bebesen, Aceh Tengah, Aceh, Desember 2017.
Pohon kopi memang bisa menjadi tabungan seumur hidup karena usia pohon bisa mencapai 25 tahun. Setiap tahun pohon itu berbuah.
Itu sebabnya hampir setiap keluarga mengelola kebun kopi. Sampai-sampai kebun kopi pun kerap diburu. Petak kebunnya pernah ditawar hingga Rp 500 juta, tetapi Muzakkir tak tergoda.
Kebun kopi warisan orangtuanya itu ditanami arabika (Coffea arabica) dan dirawat organik. Rutin dipangkas agar cepat berbuah. Daunnya mengilat hijau di antara lebatnya buah merah. ”Yang penting kita rawat dengan baik. Kita sayangi. Hasilnya pasti baik,” katanya.
Dalam setahun, sekitar 5 ton buah merah dipanen. Dengan harga Rp 9.000 per kilogram, ia mendapatkan Rp 45 juta per tahun. Jika diolah menjadi beras biji (greenbean), volumenya menjadi 1 ton. Dengan menjual greenbean Rp 85.000 per kg, pendapatannya naik dua kali lipat.
Tanaman kopi di Gayo terbentang pada 4 kabupaten, Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara. Dengan luas 121.226 hektar tahun 2017, kawasan Gayo menjadi kebun kopi arabika rakyat terluas di negeri ini. Badan Pusat Statistik Aceh mencatat produksi beras biji kopi Gayo mencapai 46.828 ton. Nilai ekspor lebih dari Rp 6 triliun per tahun.
Dunia mengenalnya sebagai biji kopi spesial dan bermutu tinggi yang ditanam hingga ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut. Analisis sensorial menunjukkan profil aromanya intens. Cita rasanya pun mewah dengan rasa asam yang bersih, perisa yang kompleks, serta kekentalan yang kuat. Jika diolah dengan benar, kopi Gayo tidaklah pahit (bitter) ataupun sepat (astringent). Iwan Juni, barista kopi Gayo, menyebut kemewahan rasa itu dihasilkan sebagai anugerah dari alam.
Memang tanah di Gayo berstruktur vulkanik dan beriklim sejuk tropis. Cocok ditanami kopi di sekeliling kaki hingga lereng-lereng pegunungan Bukit Barisan. Terdapat pula sumber air Danau Lut Tawar yang menyempurnakan kesuburan lahan.
Kopi yang ditanam sepanjang hutan produksi diperkaya aroma pinus. Di sekitar hutan rakyat mendapatkan sensorial aroma jeruk dan rempah. ”Keragaman rasa inilah yang menjadi keunggulan kopi Gayo,” ujar Iwan.
Harta karun
Bukan hanya di Gayo, kekayaan alam jadi harta karun cita rasa kopi negeri ini. Anugerah itu sampai-sampai menyematkan keyakinan para petani di Bali bahwa kopi napas dan darah mereka.
Setelah bangun dan sebelum bernapas lebih dalam, nak (orang) Bali mebanten saiban. Maksudnya mempersembahkan sesajian di sejumlah bagian rumah. Sesajian itu berisi kopi, bunga, nasi putih, dan dupa. Menjadi semacam perwujudan syukur dan berbagi rezeki kepada leluhur. ”Karena kami meminum kopi, kami pun berbagi kopi,” kata I Ketut Jati (52), petani kopi di Lereng Gunung Batur.
Dari kaki Gunung Batur, lahirlah kopi bercita rasa spesial. Seduhannya manis, segar, dan asam yang menyatu dengan aroma jeruk dan rempah. Ada pula sedikit rasa cokelat yang pekat sehabis disesap.
Kopi juga menempati ruang sakral di hati setiap orang Bali. Pada setiap 25 hari sebelum hari raya Galungan, orang Hindu Bali merayakan upacara Tumpek Uduh atau Tumpek Wariga. Upacara itu menyambut turunnya Sanghyang Sangkara, sang penjaga tumbuh-tumbuhan. Pada saat itulah, tepatnya Sabtu Kliwon Wuku Wariga (210 hari sekali), masyarakat berduyun-duyun memuja Sanghyang Sangkara di Pura Kopi Subak Abian Munduk, Kabupaten Buleleng.
Lain lagi di lereng selatan Gunung Latimojong, Sulawesi Selatan. Petani Dusun Nating, Desa Sawitto, pelosok Kabupaten Enrekang, Hasmin (49), menyandarkan hidupnya menyatu dengan kopi. Merawat lahan adalah warisan sejak kecil.
Biji kopi typika itu menjadi satu-satunya komoditas yang menghidupi delapan anaknya. Dengan perawatan intens, dari setengah hektar kebunnya, dihasilkan kopi dengan seduhan manis dan asam seimbang dengan aroma bunga. Ada pula sedikit rasa rempah dan cokelat.
Meski hidup jauh terpencil di tengah pedalaman, dari hasil kopi, Hasmin bisa menghidupi anak-anaknya. ”Dulu, bahkan, kami hidup dari menukar kopi dengan beras dan kebutuhan lain di pasar,” katanya.
Di ceruk bukit dan hutan lebat, petani di Wae Rebo, Pulau Flores, kopi menjadi jalan meningkatkan taraf hidup. Kini, mereka bersetia mengurus tanaman. Menghasilkan kopi beraroma dahsyat, dilengkapi cita rasa floral dan cokelat.
Bagi warga Wae Rebo, kopi menjadi bagian kedekatan manusia dan alam. Mereka menanam dan memanen buah kopi tanpa merusak hutan. Melestarikan hutan adalah hal utama karena itulah pesan leluhur mereka.
Hasil keringat
Tak semata anugerah alam. Dewan Penasihat Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia (SCAI), Surip Mawardi, menilai kompleksitas dan kemewahan rasa kopi Nusantara adalah buah keringat petani. Sebagian petani kini terampil menjalankan budidaya yang benar.
Mereka mengenal penanaman kopi berpenaung seperti lamtoro, jeruk, dan avokad. Tanaman bermanfaat melindungi kopi dari terpaan angin dan hujan yang bisa merontokkan bunga kopi. Perlindungan itu memaksimalkan hasil panen.
Yang lebih ciamik ketika petani menjalankan tradisi petik pilih buah kopi. Karena hanya buah kopi merah yang bercita rasa baik. ”Pemilihan buah yang baik akan menghasilkan cita rasa kopi yang baik hingga 50 persen,” ujar Surip. Selebihnya disempurnakan dalam pengolahan pascapanen, penyangraian, dan penyeduhan.
Ketua Gabungan Perusahaan Perkebunan Indonesia Delima Hasri mengatakan, minat dunia akan kopi spesial Nusantara sangat besar. Untuk tahun ini, permintaan kopi-kopi arabika spesial maupun fine robusta bahkan terus bertambah. Permintaan kopi dari India dan Pakistan sebanyak 360 ton. Selandia Baru pun telah memesan kopi asal Ijen, Kalosi, Gayo, Mandheling, Kintamani, dan Sipirok. Jumlahnya sampai 26 kontainer atau 368 ton.
Bahkan, Mesir memesan 900 ton. ”Permintaan dunia pada kopi Nusantara sekarang ini luar biasa,” katanya.
Tantangan ke depan
Kini, tantangan besar adalah memenuhi besarnya permintaan tersebut. Saat ini, perubahan iklim dikhawatirkan mengurangi produktivitas kopi dalam negeri. Serangan hama dan penyakit pun kian meningkat sehingga perlu ada upaya lebih untuk menekan ancaman penurunan dengan cara mengoptimalkan revitalisasi dan penanaman baru.
Hal yang lebih penting lagi adalah menjaga mutu kopi. Kerap didapati kopi yang diekspor dalam satu waktu bermutu baik, tetapi di lain waktu mutunya tak terjaga. Akibatnya konsumen kecewa. ”Cita rasa yang menjadi identitas kopi-kopi Nusantara telah melekat dalam selera konsumen. Mereka pun menuntut konsistensi itu,” katanya.
Yusianto, ahli cita rasa dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, pun mengatakan, soal konsistensi rasa masih menjadi pekerjaan rumah bagi kopi Indonesia.
Pernah ia mendapati kopi yang dihasilkan berasa lembut, beraroma sitrus, dan segar. Namun, pada panen berikutnya rasanya ternyata tak sama.
Banyak faktor yang memengaruhi konsistensi rasa, di antaranya pascapanen yang tidak standar atau asal kopinya memang berbeda karena kurangnya pasokan.
Jika saja di tahap pengolahan kopi diperlakukan dengan standar sama, konsistensi rasa bisa terjaga. Aroma kopi pun tak hanya menjadi napas hidup dan darah petani, tetapi juga menjadi aroma yang terus memikat para peminum kopi dunia. Dan, pada kopi, petani bisa bersandar. (DIA/VDL/REN/GRE/AIN/GER/NIT/ITA)