Rehan (9) bersama 15 anak lain seusianya tampak khusyuk membaca, menulis, dan menghitung di ruangan berukuran 9 meter persegi. Tak ada keriuhan karena semua anak memegang buku yang dipilihnya. Meskipun suhu di Surabaya mencapai 32 derajat celsius, mereka tampak enggan beranjak dari ruangan taman baca masyarakat di RW 003 Nyamplungan, Kecamatan Pabean Cantikan, Surabaya, akhir Maret lalu.
”Pak, ngaji dulu, ya. Nanti balik lagi mau bahas ulangan di sekolah, banyak yang kurang jelas,” kata Rehan kepada tenaga pendamping di TBM, Iwan Wahyu dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Pemerintah Kota Surabaya, yang bertugas di situ.
Siswa kelas III SDN ini sudah dua jam berada di TBM untuk membaca buku dongeng. Kegiatan ini sering dilakukan selepas pulang sekolah. Dia memilih tidak bermain gim di gawai seperti teman-teman sebayanya yang lain karena sudah dibiasakan membaca oleh orangtuanya.
Bocah-bocah ini betah belajar di TBM yang berada dekat rumah karena tempat ini tak hanya digunakan untuk membaca. TBM di Surabaya didesain untuk kegiatan literasi lain, seperti mendengarkan dongeng dari sukarelawan, melukis, menggambar, dan mengulang mata pelajaran yang diterima di sekolah.
Aktivitas seperti ini menjadi potret keseharian anak-anak di Surabaya di hampir semua TBM yang tersebar hingga tingkat RW. ”Meski sudah pukul 17.00, yang berarti sudah habis waktu di TBM, anak-anak masih bertahan sambil bertukar isi buku yang dibaca,” kata Iwan.
Potret yang sama terlihat di TBM Taman Flora di Jalan Bratang. Najzwa Hirballillah (11), pelajar SDN Semolowaru yang ditemui di taman yang biasa digunakan untuk pembelajaran di luar ruang oleh siswa taman kanak-kanak dan SD itu mengaku rutin dua hari sekali datang untuk membaca di TMB tersebut. ”Selepas sekolah, saya membaca di sini karena tempatnya adem dan tenang. Bisa pilih buku lalu baca sepuasnya,” kata siswa kelas V yang gemar membaca ini.
Minat baca yang tinggi di kalangan anak-anak menggugah Pemkot Surabaya untuk terus meningkatkan layanan di TBM. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini setiap berkunjung ke kelurahan atau RW selalu membawa sekaligus menitipkan buku bacaan bagi anak-anak. Hingga awal 2018 sudah terdapat 1.428 titik literasi di kota ini.
Lokasinya rata-rata berada di ruang publik, seperti taman hingga balai RW. Di setiap taman bacaan masyarakat, tak kurang dari 1.000 buku disediakan, mulai dari buku pengetahuan umum, dongeng, hingga beberapa mata pelajaran untuk menunjang kegiatan belajar siswa, termasuk buku menu masakan bagi orang dewasa.
525 petugas
Menurut Iwan, 525 petugas teknis perpustakaan bertugas setiap hari untuk melayani perpustakaan kota dengan 1.428 titik layanan bacaan tersebut. Mereka bekerja di perpustakaan sekolah dari pukul 07.30 hingga 12.00 lalu ke taman bacaan balai RW pada pukul 13.00-14.00 atau pukul 15.00-17.00.
Selain menyasar warga melalui taman bacaan yang berlokasi di balai RW, literasi juga menyentuh perpustakaan sekolah tingkat SD/SMP dan madrasah ibtidaiyah/tsanawiyah, pondok pesantren, serta pengunjung taman kota.
Begitu besar keinginan anak- anak untuk membaca membuat Pemkot Surabaya tak hanya membuat TBM hingga tingkat RW, tetapi juga mengoperasikan mobil perpustakaan, literasi bergerak, dan membuka perpustakaan di taman. Tersebarnya tempat membaca hingga ke taman-taman diharapkan membuat pengunjung, terutama anak-anak, tak sekadar bermain, tetapi juga bisa membaca, melukis, atau menggambar. Mobil perpustakaan umumnya bantuan dari perusahaan lewat program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
”Setiap TBM menyediakan 1.000 buku berbagai judul. Setiap tiga bulan, koleksi buku ditukar dengan TBM lain agar bacaan warga lebih variatif. Setiap tahun koleksi bukunya juga terus ditambah,” kata Iwan.
Selain TBM dan perpustakaan, untuk menjangkau anak-anak lain disediakan perpustakaan keliling yang disiapkan untuk target tempat-tempat ramai. Ada empat mobil perpustakaan keliling bantuan dari sejumlah CSR. Dukungan mereka menjadi tambahan kekuatan bagi Surabaya untuk meningkatkan tingkat baca anak-anak dari 60 persen menjadi 70 persen tahun ini.
Rumah Bahasa
Di kota yang memiliki banyak tapak jejak kolonial Belanda ini, Rumah Bahasa di Balai Pemuda kini menjadi pusat beragam aktivitas warga, baik seni, budaya, maupun bahasa yang diselenggarakan secara gratis dan terbuka bagi umum. Balai Pemuda yang dibangun pada 1907 karya arsitek Belanda, Westmaes, seolah menjadi fondasi literasi kota ini ke depan.
Di kompleks gedung, dulu disebut Simpangsche Societeit, Pemkot Surabaya juga membuka perpustakaan umum yang seluruhnya untuk memenuhi kebutuhan literasi dan pemberdayaan warga kota secara gratis. Rumah Bahasa dihadirkan, menurut Wali Kota Surabaya
Tri Rismaharini, sejak 4 Februari 2014, ibaratnya ”dapur” bagi warga agar lebih siap menghadapi pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Di Rumah Bahasa Surabaya, Arek Suroboyo bisa belajar paling tidak 10 bahasa asing secara gratis, termasuk bahasa Indonesia dan Jawa. Bermodal kartu tanda penduduk Surabaya, warga bebas memilih bahasa asing apa yang mau ditekuni secara gratis, antara lain Inggris, Arab, Belanda, Jepang, Jerman, Korea, Mandarin, Perancis, Spanyol, dan Rusia.
Di era perkembangan teknologi, anak-anak harus memiliki pengetahuan untuk bersaing dengan yang lain. Segala keperluan untuk mencekoki anak dengan ilmu, sikap, dan jati diri lewat buku merupakan salah satu upaya Pemkot Surabaya memalingkan ketergantungan anak pada telepon pintar. Jangan sampai budaya membaca luntur akibat generasi muda kecanduan permainan di telepon pintar.