BANYUWANGI, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, kembangkan sejumlah daerah sebagai sentra mina bahari. Dengan adanya sentra mina bahari, kebutuhan ikan untuk lokal bisa terpenuhi.
Saat ini permintaan ikan, di antaranya gurami, melonjak seiring dengan banyak dibukanya restoran dan hotel di Banyuwangi. Permintaan yang tinggi itu membuat budidaya ikan gurami bergairah kembali.
Kepala Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Banyuwangi Hary Cahyo Purnomo mengatakan, sampai saat ini, produksi gurami di Banyuwangi masih belum bisa memenuhi kebutuhan konsumsi gurami.
”Kebutuhan ikan gurami yang diolah menjadi kuliner mencapai 8 ton setiap bulannya. Adapun produksi gurami hanya mencapai sekitar 6 ton dengan penyumbang produksi terbanyak dari Kecamatan Srono. Saat ini kami bimbing warga untuk dapat memacu peningkatan produksi,” ujarnya di Banyuwangi, Rabu (18/4/2018).
Hary mengatakan, budidaya gurami memiliki peluang yang sangat besar. Sampai saat ini, peminat budidaya gurami cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan jenis ikan lain, seperti lele. Selain itu, budidaya gurami juga memiliki keuntungan tersendiri karena mulai dari bibit, ukuran sedang, hingga ukuran besar tetap laku dijual.
Paham akan potensi tersebut, Dinas Perikanan dan Pangan Kabupaten Banyuwangi melakukan pendampingan kepada warga. Harapannya pendampingan tersebut dapat membantu meningkatkan produksi ikan gurami di Kecamatan Srono.
Salah satu bentuk pendampingan adalah dengan mendirikan kampung gurami di Desa Sukomaju, Kecamatan Srono. Dengan sentralisasi, pendampingan dapat dilakukan lebih intensif. Nantinya pengelolaan juga dapat dilakukan melalui BUMDes.
”Dengan dijadikan kampung gurami, desa ini akan memiliki pemasukan yang lebih besar. Apalagi letak desa ini sangat strategis karena merupakan jalur ke tempat-tempat wisata, seperti Pulau Merah, De Djawatan, ataupun ke Plengkung di Taman Nasional Alas Purwo,” tuturnya.
Sugiono (53), warga Desa Sukomaju, mengakui, sejak tahun 1990-an, warga di desanya banyak yang membudidayakan ikan gurami. ”Tahun 1990-an hampir setiap rumah memiliki petak-petak kolam ikan gurami. Namun, sekitar 2004, banyak yang gulung tikar karena tergiur keuntungan menanam cabai,” ujarnya.
Menurut Sugiono, kebangkrutan warga yang membudidayakan ikan gurami diakibatkan lemahnya menajemen keuangan dan alih profesi menjadi petani cabai. Akibatnya, sejumlah kolam ikan berubah menjadi kebun cabai.
Sugiono mengatakan, budidaya gurami membutuhkan waktu, mulai dari perawatan hingga panen. Setiap kolam seluas 200 meter persegi dapat digunakan untuk budidaya ikan gurami sekitar 3.000 ekor.
Selain Srono, ada dua daerah lain di Banyuwangi yang menjadi sentra mina bahari. Keduanya terdapat di Kecamatan Kabat untuk komoditas ikan lele dan Kecamatan Singojuruh untuk komoditas ikan koi.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mendorong agar pembudidaya ikan gurami tidak hanya fokus pada budidaya, tetapi dikembangkan menjadi kuliner.
”Kalau diolah menjadi kuliner, keuntungannya akan berlipat. Budidaya ikan bisa dikombinasikan dengan olahan kuliner sehingga menjadi wisata tersendiri. Selain itu, tempatnya juga harus nyaman, bersih, makanan enak, dan menjadi tempat edukasi budidaya,” kata Anas.