SIDOARJO, KOMPAS - Kejaksaan Negeri Sidoarjo menyelidiki kasus pungutan liar yang dilakukan terhadap 651 pemohon sertifikat tanah dari Desa Kepatihan, Kecamatan Tulangan. Nilai pungutan berkisar Rp 500.000-Rp 1 juta per pemohon. Biaya ini di luar biaya persiapan pendaftaran tanah sistematis yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 150.000 per pemohon.
Penyelidikan dilakukan sebagai tindak lanjut unjuk rasa warga Desa Kepatihan, Kecamatan Tulangan, di kantor Kejari Sidoarjo, Rabu (18/4/2018). Pengunjuk rasa menduga terjadi penyimpangan dalam program sertifikasi tanah gratis atau yang dikenal dengan istilah pendaftaran tanah sistematik lengkap (PTSL) 2018.
Sutaji, warga Desa Kepatihan, mengatakan, pihaknya mendaftar sebagai peserta program PTSL untuk menyertifikatkan sebidang tanahnya. Namun, oleh panitia desa, dia diminta membayar Rp 500.000 di luar biaya
Rp 150.000 yang diatur oleh SKB tiga menteri. Alasannya, uang Rp 500.000 itu untuk membayar biaya pejabat pembuat akta tanah. ”Biaya tambahan ini besarnya tak sama setiap pemohon, dan bahkan berbeda di desa
lain. Ada yang cukup bayar Rp 150.000, ada yang diminta menambah lagi Rp 500.000 per pemohon,” ujarnya.
Presiden Joko Widodo melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) memfasilitasi pengurusan sertifikat tanah gratis bagi semua warga melalui program PTSL. Biaya sertifikat tanah ditanggung APBN. Namun, untuk mengurus sertifikat tanah, diperlukan biaya persiapan, seperti pembelian meterai, menggandakan dokumen, pembelian patok tanah, pengukuran batas, dan pengurusan surat keterangan dari desa ataupun surat keterangan ahli waris.
Biaya persiapan ini menjadi sumber korupsi kepala desa dan perangkatnya sehingga banyak yang dijebloskan ke penjara. Untuk mencegah penyimpangan dan memberikan kepastian hukum kepada panitia PTSL dan warga, pemerintah menerbitkan Keputusan Bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Menteri Dalam Negeri, serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi tahun 2017.
Keputusan itu berisi penetapan biaya persiapan pendaftaran tanah sistematis yang harus ditanggung sebesar Rp 150.000 per pemohon. Di Sidoarjo, SKB tiga menteri itu ditindaklanjuti dengan terbitnya peraturan bupati yang menetapkan biaya persiapan pendaftaran tanah sistematis Rp 150.000 per pemohon.
Desa Kepatihan dapat kuota PTSL 1.000 sertifikat tahun ini. Namun, karena jumlah pemohon 1.492 orang, BPN Sidoarjo menambah kuota PTSL jadi 1.500 sertifikat. Dari 1.500 pemohon, yang membayar biaya persiapan hanya Rp 150.000 per orang sebanyak 849. Sisanya, 651 pemohon, dikenai biaya Rp 150.000 dan tambahan Rp 500.000-Rp 1 juta per orang. Alasannya, tanah yang mereka miliki dibeli atau diperoleh di atas tahun 1997. Sekitar 532 orang sudah membayar biaya tambahan.
Kepala Kejari Sidoarjo Budi Handaka mengatakan, pihaknya masih mengumpulkan bahan dan keterangan sebagai tahap awal penyelidikan. Penyidik masih mendalami tentang penarikan biaya sertifikat gratis dengan alasan membayar biaya pejabat pembuat akta tanah (PPAT).
”Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pembelian tanah pada 1997 dan setelahnya harus melalui otentifikasi. Artinya, transaksi jual-belinya harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT,” kata Budi Handaka.
Penyidik tetap menyelidiki potensi terjadi penyimpangan sebab tidak ada standardisasi biaya pembuatan akta oleh PPAT. Karena itu, harus diselidiki proses penentuan besarnya biaya tambahan yang bervariasi kepada setiap pemohon. (NIK)